Saturday, April 26, 2008

foto-foto tsara dan amanda




Foto-foto (Debora Irene Christine)







Ibu, kok susah banget sih ngupload foto di sini!!!!!!!!!!! Saya udah berkali2 nyoba nggak bisa nih!!! Gimana dong????????? Kasih tahu e-mailnya ibu ajalah!!! Tolong, Bu!










Narasi (Debora Irene Christine)

NARASI

Bapak Hasanudin : Bekerja adalah Ibadah
Oleh : Debora Irene Christine (XI IPS 1 / 7)

Pada hari Jumat, 25 April 2008 yang lalu, saya berkesempatan untuk melakukan wawancara singkat dengan Bapak Hasanudin yang merupakan seorang pedagang siomay. Bapak Hasanudin yang telah berusia 40 tahun masih gesit dalam melayani pembeli yang ingin menikmati siomay olahannya.
Setiap harinya Bapak Hasanudin bangun sekitar pukul 5 di pagi hari untuk pergi ke pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat siomaynya. Setiap hari, Bapak Hasanudin mengayuh sepedanya untuk berdagang siomay di 6 komplek perumahan dengan penghasilan rata-rata perharinya adalah Rp 30.000,-.
Keluarga Bapak Hasanudin tinggal di desa, di Jawa Barat, sedangkan ia seorang diri mengontrak di daerah Jati Makmur, Bekasi. Istrinya berperan sebagai ibu rumah tangga yang telaten mengurus rumah dan anak-anaknya. Mereka memiliki 3 anak perempuan. Anak yang pertama telah berkeluarga, yang kedua sedang menempuh pendidikan di bangku kelas 1 Sekolah Dasar, sedangkan si bungsu masih berusia 1,5 tahun.
Penghasilan Bapak Hasanudin diakuinya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dan membiayai sekolah anak-anaknya.
“Sekolahnya kan di kampung. Nggak memerlukan biaya gede. Jadi, ya, cukuplah,” ujar Bapak Hasanudin.
Sebagai seorang pedagang siomay yang independen, Bapak Hasanudin tidak pernah menderita kerugian karena ia mengolah dan menjual sendiri siomaynya. Jadi, ia pula yang memutuskan berapa banyak siomay yang harus ia buat perhari.
“Ya, kalau merugi sih, nggak. Kita kan buat sendiri, jadi nggak ada sistem rugi. Masalahnya, dalam satu hari itu siomaynya habis atau nggak. Saya sih, jarang nggak habis. Karena saya kan nggak seperti orang yang sistemnya setoran. Kalau buat sendiri kan, tergantung maunya kita,” ujar Bapak Hasanudin menjelaskan.
Bapak Hasanudin hanya pernah menempuh pendidikan sampai dengan Sekolah Dasar. Hal ini yang menyebabkan ia memilih untuk bekerja sebagai pedagang siomay, karena merasa pendidikannya tidak cukup tinggi untuk memilih pekerjaan lain. Ketika ditanya mengapa memilih profesi sebagai pedagang siomay dibanding pedagang bakso, bubur ayam, atau nasi goreng, Bapak Hasanudin menjawab, “Yah, mungkin sudah ini bagiannya. Saya percaya kalau saya punya kemampuan lebih baik untuk ngolah siomay dibanding dagangan lainnya.”
Bapak Hasanudin yang beragama Islam mengatakan bahwa salah satu hal yang mendorongnya untuk memilih bekerja dibandingkan hanya berpangku tangan pada orang lain saja adalah ajaran agama Islam. Menurutnya, dalam agama Islam diajarkan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah, sedangkan duduk berpangku tangan dan tidak mau berusaha adalah tindakan yang dapat mengurangi iman. Beliau juga mengatakan bahwa dengan berdagang ia membantu orang lain mencukupi kebutuhannya dan orang tersebut juga membantunya untuk mendapat penghasilan. Jadi, terdapat sistem timbal balik yang terjadi antara dirinya dengan pembeli. Dengan demikian, Bapak Hasanudin mengakui bahwa dalam bekerja dibutuhkan campur tangan atau kerja sama dengan orang lain.
“Kita beramal, tapi orang itu membeli. Jadi, ada timbal balik. Orang butuh, kita jual. Tapi, kita juga dapat imbalan uang. Begitu,” ucap Bapak Hasanudin.
Bapak Hasanudin juga merasa cukup bangga bahwa ia memiliki profesi yang dipandang halal menurut agamanya dan berguna untuk menafkahi keluarganya walaupun profesinya sebagai pedagang siomay tidaklah sehebat profesi lain seperti dokter, pengusaha atau pejabat. Beliau menegaskan bahwa selama usianya masih cukup produktif untuk bekerja sebagai pedagang siomay, ia akan terus menggeluti profesinya tersebut. Jika ia merasa dirinya sudah tidak produktif lagi, ia mempercayakan pekerjaannya itu kepada anaknya yang pertama yang saat ini juga berdagang.
Kehadiran Tuhan dalam pekerjaannya dirasakan Bapak Hasanudin pada saat beliau mengalami keengganan atau kemalasan untuk mengayuh sepeda dan pergi berdagang siomay. Ia terkadang merasa diingatkan bahwa istri dan anak-anaknya di kampung membutuhkan biaya hidup, dan sudah merupakan kewajibannya sebagai kepala keluarga untuk mencukupi hal tersebut. Bapak Hasanudin juga mengatakan bahwa dengan lebih seringnya siomaynya habis terjual dibanding tidak habis terjual menunjukkan bahwa Tuhan menghargai jerih payahnya dalam bekerja.
Dengan adanya agama yang menjadi pegangan dan pedoman hidupnya, Bapak Hasanudin mampu menghadapi berbagai rintangan dalam pekerjaannya.
“Ya, karena ada agama, kalau ada cobaan kita punya pegangan, mendapat kesabaran, ‘Oh, mungkin saya lagi diuji sama Tuhan’, begitu,” ujar Bapak Hasanudin.
“Kan, kadang-kadang kalau lagi dagang tiba hujan turun deras atau angin kenceng, jadi harus berhenti dulu, berteduh. Kalau kayak gitu kan, waktu dagangnya jadi berkurang, orang juga malas keluar rumah. Jadinya, dagangannya nggak habis. Kalau kayak gitu ya, harus dianggap sebagai ujian dari Tuhan, harus sabar. Namanya juga kerja, cari uang, mana ada yang gampang,” kata Bapak Hasanudin lagi.
Karena jarang mendapat penghasilan yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Bapak Hasanudin biasanya lebih memilih untuk memberikan sumbangan ke dalam kotak-kotak sumbangan yang diletakkan di jalan dibanding memberikan zakat.
”Pengennya sih, kasih zakat kalau penghasilannya lebih dari cukup. Karena sebenarnya memberi zakat itu kan wajib kalau di aturan Muslim. Tapi, karena penghasilannya pas-pasan, ya saya hanya nyumbang ke kotak yang ada di jalan itu,” ucap Bapak Hasanudin.
Demikianlah wawancara saya dengan Bapak Hasanudin berakhir. Dengan semangat, beliau kembali mengayuh sepedanya untuk melanjutkan perjuangan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Refleksi Pribadi

REFLEKSI PRIBADI
Oleh : Debora Irene Christine (XI IPS 1)

Kalimat “bekerja merupakan salah satu bagian dari ibadah” yang saya dengar dari Bapak Hasanudin sewaktu saya melakukan wawancara dengan beliau sempat membuat saya berpikir sejenak, benarkah bekerja adalah bagian dari ibadah?
Namun, saya teringat kembali kutipan alkitab dalam buku pelajaran Religiositas saya yang mengatakan, “Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu.” (Mazmur 128 : 2). Hal ini membuat saya setuju dengan ungkapan yang dinyatakan oleh Bapak Hasanudin bahwa bekerja adalah ibadah.
Sebelumnya, saya hanya menghayati kegiatan bekerja sebagai kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan memperoleh status dalam masyarakat. Karena seperti yang kita tahu bahwa dengan menjadi pengangguran kita akan disebut sebagai sampah masyarakat.
Namun, dengan ungkapan yang dikatakan oleh Bapak Hasanudin saya merasa seperti diingatkan akan arti dan tujuan lain dari bekerja, yaitu untuk melayani. Mengapa melayani?
Dengan bekerja, kita melakukan sesuatu untuk orang lain. Untuk itu, kita mendapat imbalan berupa penghasilan. Melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain merupakan pengertian dari melayani. Singkatnya, dengan bekerja kita melayani atau membantu orang lain untuk mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Atas jasa kita tersebut, kita mendapat penghargaan berupa penghasilan yang dapat kita gunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup kita sendiri. Jadi, seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Hasanudin, bahwa terjadi hubungan timbal balik dalam kegiatan bekerja.
Layaknya Bapak Hasanudin yang berlapang dada mengemban tugas yang harus ia jalankan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, kita pun harus berusaha untuk menghargai pekerjaan yang kita miliki, sekalipun pekerjaan itu tidak menempatkan kita pada status sosial yang tinggi. Namun, selama kita menjalankannya dengan ikhlas dan bersemangat, niscaya pekerjaan apapun itu akan menjadi berkat bagi orang-orang di sekeliling kita.
Di samping itu, kita juga hendaknya tidak berpangku tangan pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup kita selama kita masih mampu untuk melakukannya sendiri. “Janganlah malas! Karena malas pangkal bodoh, dan bodoh pangkal miskin!” sepertinya ungkapan yang tepat untuk menyampaikan pentingnya bekerja keras. Selain itu, dengan bekerja kita akan merasakan kebanggaan tersendiri bahwa kita mampu dan mau berjuang mencukupi kebutuhan kita.
Kita juga harus menyadari kehadiran Tuhan dalam pekerjaan yang kita lakukan, karena sesungguhnya ia selalu ada untuk membantu kita di setiap keadaan. Ia memberikan apa yang layak kita terima, sesuai dengan usaha yang kita berikan, pada saat yang paling tepat. Jadi, selain bekerja keras kita juga sebaiknya selalu berdoa dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam perlindungan Tuhan demi kelancaran pekerjaan yang kita lakukan.

Friday, April 25, 2008

tugas wawancara(Herin-XI IPS1/16 & Hilda-XI IPS1/17)




Masalah Menjadi Berkat

Pada suatu hari yang agak berawan, kami berdua berjalan menuju suatu rumah di kawasan Jakarta barat. Ketika sampai di depan rumah, kami langsung disambut hangat oleh seorang wanita yang berparas lembut yang tersenyum hangat saat bertemu kami.
Wanita itu bernama Vinarti. Ia biasa dipanggil Vivin. Wanita ini bekerja sebagai baby sitter, yang tugasnya mengurus bayi-bayi mungil nan lucu. Seperti yang kita tahu, pekerjaan baby sitter bukanlah suatu pekerjaan yang tetap, karena setelah bayi tersebut sudah mulai besar, ia akan tidak dibutuhkan lagi. Mungkin yang dapat dilakukan, menjadi baby sitter untuk bayi yang lain ataupun beralih pekerjaan dengan mengurus manula.
Wanita yang berkelahiran Pacitan, tanggal 13 Januari 1970 ini pada awalnya bercita-cita menjadi seorang perawat Rumah Sakit. Namun, karena situasi dan kondisi keluarganya yang kurang mampu maka iapun mengurungkan niatnya untuk menjadi perawat. Akhirnya, ia pun mengambil kursus untuk menjadi baby sitter yang memakan waktu selama 3 bulan dengan biaya yang tidak terlalu banyak. Walaupun biayanya tidak terlalu banyak, namun bagi keluarga Ibu Vivin biaya itu sudah termasuk biaya yang cukup memberatkan keluarganya.
Ibu Vivin sendiri mengaku senang melakukan pekerjaan menjadi seorang pengurus bayi atau manula, karena ini merupakan hobbynya. Sejak kecil ia memang pandai mengurus anak-anak dan orang sakit, juga orang tua (manula). Dengan pekerjaan yang digelutinya saat ini, ia mendapatkan banyak pengalaman yang berharga dalam hidup. Banyak pengalaman yang ia syukuri selama bekerja menjadi baby sitter, antara lain pergi ke luar kota, naik pesawat, bertemu artis, dan lain-lain. Pengalaman- pengalaman tersebut mungkin tidak akan pernah ia alami jika tidak bekerja menjadi seorang pengasuh. Beliau juga pernah menjadi baby sitter seorang artis yaitu, Nur Abni Oktavia.
Di balik kesenangannya itu, tentu ia juga seringkali mendapat pengalaman buruk. Antara lain ketika mendapat majikan yang cerewet, mengasuh bayi yang susah untuk diasuh (seperti, bayi yang rewel), mengurus jompo yang sulit diatur ataupun jompo yang cerewet, dan lain-lain. Dari pengalaman Ibu Vivin, ternyata mengurus jompo itu lebih susah dibandingkan bayi.
Ibu Vivin sudah bekerja menjadi baby sitter dan mengurus jompo sekitar sepuluh tahun. Tepatnya sejak tahun 1995. “Setelah saya selesai kursus, saya langsung bekerja. Karena saya tidak ingin membebani orang tua saya”, begitu ujarnya. Sungguh mulia tindakannya itu. Tentu Ibu Suratmi dan Bapak Sudirman bangga memiliki anak seperti ibu Vivin ini.
Dari pekerjaannya ini, ibu Vivin bisa mendapat penghasilan sebesar Rp 800.000,00 sampai Rp 1.300.000,00. Dari gaji yang didapatkannya tersebut, ia gunakan untuk membiayai kehidupan 2 orang anaknya, yang masih berumur 10 dan 5 tahun serta ibunya. Maklum saja, karena sebuah kecelakaan besar telah merenggut nyawa suaminya. Almarhum suaminya meninggalkan Ibu Vivin dan 2 orang anaknya itu pada tahun 2004. Sejak saat itu, ibu Vivin menjadi seorang single parent yang tangguh dan penuh semangat mencari uang untuk menafkahi anak-anaknya. Setiap bulan ia mengirimkan sebagian dari penghasilan yang didapatkannya ke ibunya serta anak-anaknya. Suster Win, begitu biasa ia dipanggil,juga selalu mengunjungi anak-anaknya ketika ia mendapat cuti.
Pekerjaan ibu Vivin yang dapat dikatakan tidak kenal waktu, selama 24 jam, tentunya sangat menguras banyak energinya. Maka itu, bila ia mendapatkan waktu cuti, ia menggunakan waktu itu untuk beristirahat. Pekerjaannya ini menuntut ia harus selalu siap 24 jam, karena ia harus bangun di tengah malam bila bayi yang diurusnya menangis ataupun jompo yang dirawatnya rewel. Walaupun banyak tuntutan dalam bekerja, ia tetap rajin beribadah. Beliau merupakan seorang Muslimah yang taat. Ia jarang sekali melewatkan waktu untuk shalat kecuali bila dalam kondisi yang benar- benar tidak memungkinkan, mengingat pekerjaannya yang harus siap sleama 24 jam. Selama ia menjadi seorang pengasuh,ia selalu mendapat majikan yang cukup baik dan juga ia tidak pernah mendapat majikan yang melarangnya untuk beribadah. Karena itulah ia bersyukur pada Allah karena mendapat majikan yang baik dan menghormati agama yang dianutnya.
Dari kisah ibu Vivin, kita menjadi mengatahui kalau ternyata ibu Vivin selalu mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan padanya. Tapi, ia tidak hanya berpasarah saja, namun ia juga ikut mengembangkan apa yang Tuhan berikan padanya. Dalam hal ini, ibu Vivin merawat dan mengembangkan bayi dan jompo yang merupakan karunia dari Tuhan. Selain memelihara ciptaan Tuhan Ibu Vivin juga membangun harapan agar hidupnya dan hidup orang lain sejahtera. Ibu Vivin percaya bahwa Tuhan selalu menuntun arahnya termasuk dalam bekerja, karena itu ia juga percaya bahwa melakukan pekeraan ini sama dengan bekerja dengan Tuhan.
Dari wawancara kami dengan seorang janda tangguh yang berprofesi sebagai pengasuh ini, kami mendapatkan suatu nilai hidup dari Ibu Vivin, yaitu “Jangan pernah menyerah saat kita mendapat suatu masalah. Tataplah ke depan dan halaulah masalah itu menjadi berkat”

***
Herinda Kusuma-XI IPS 1 / 16
Hilda Anita-XI IPS 1 / 17


Foto-foto


Aktivitasnya sebagai baby sitter




Herin-Suster Win& bayi yang diasuh-Hilda



REFLEKSI PRIBADI (Herinda Kusuma-XI IPS 1/ 16)
Setelah melakukan wawancara dengan Ibu Vivin yang berprofesi menjadi baby sitter, saya mendapatkan banyak hal baru mengenai kehidupan. Dari bagaimana caranya memenuhi kebutuhan sehari- hari sampai bagaimana kita memaknai hidup itu sendiri. Walaupun sebenarnya hal tersebut sudah ditanamkan dalam diri saya semenjak saya kecil oleh kedua orang tua saya, tetapi saya belum pernah mengalami hidup yang serba berkekurangan seperti hal nya orang banyak yang kurang beruntung sehingga yang saya ketahui hanya sekedar teorinya saja.
Maka melalui wawancara ini, saya dapat mengetahui lebih nyata akan perjuangan orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjalani kehidupannya. Untuk memenuhi seluruh kebutuhannya, manusia harus bekerja agar mendapatkan uang. Namun ternyata, bekerja bukanlah semata-mata untuk mendapatkan uang atau kenikmatan saja, tetapi bekerja merupakan salah satu bentuk ungkapan syukur kita kepada Tuhan atas semua yang telah diberikan-Nya kepada kita. Dengan bekerja kita bisa belajar melatih kejujuran, tanggung jawab, rasa mencintai sesama, menghargai sesama, menghormati sesama, dan banyak nilai kehidupan yang lain. Pengalaman yang kita dapatkan dari bekerja ternyata dapat membuat pribadi kita menjadi lebih dewasa.
Selain itu, saya juga menjadi sadar bahwa semua yang kita lakukan, khususnya dalam melakukan suatu pekerjaan, tidak bisa lepas dari kuasa Tuhan. Saat kita bekerja pun berarti kita sedang berkarya bersama Tuhan. Jadi, sebenarnya bekerja itu mempunyai banyak arti di dalamnya.




Refleksi (Hilda Anita-xi ips1/17)
Saat saya pertama kali datang ke rumah tempat kami wawancara, suasana hangat dan ramah muncul dari ibu Vivin. Sehingga membuat saya menjadi kagum dengan keramahannya. Selain itu, kegigihannya untuk mengahadapi masalah juga sangat menginspirasi saya. Ternyata, masalah itu harus dihadapi sehingga menjadi sebuah berkat. Bukannnya dihindari seperti yang selama ini saya lakukan.
Dengan bekerja, kitapun menyadari kalau kita sangat membutuhkan Tuhan di samping kita. Dengan bantuan Tuhan, maka segala halanganpun akan mudah telewati. Sehingga saya menjadi sadar kalau bekerja itu berarti semakin dekat hubungan kita Tuhan.
Selain mendapatkan uang dari bekerja, ternyata bekerjapun bisa menghasilkan memupuk pandangan kejujuran, kesadaran akan kewajiban, dan cinta pada sesama. Dari sini, saya menjadi memahami akan arti dari bekerja yang tidak hanya mencari uang.
Dengan bekerja, saya menjadi mendapat kemampuan dan pengalaman baru. Dan itu sangat berarti bagi kehidupan saya. Karena itu, bekerja itu juga sangat berarti bagi hidup kita.

tugas religio

Ahmad, Penjual Minuman


Nama mas siapa?

Ahmad.

Nama lengkapnya?

Ahmad Nasir.

Agama mas apa ya?

Islam.

Tempat tanggal lahir mas?

Madura, 21 Mei 1985

Jadi mas asli Madura?

Iya.

Status mas apa ya?

Bujangan.

Pendidikan terakhir mas?

SMP.

Mas berapa bersaudara?

5 bersaudara. Semuanya di Madura.

Sekarang kita mau nanya tentang kehidupan dan pekerjaan mas ya.

Sebenarnya mas ke Jakarta atas keinginan orang lain atau keinginan mas sendiri?

Keinginan saya sendiri.

Tahun berapa mas pertama kali ke Jakarta?

Tahun 2000 saat umur saya 17 tahun.

Mengapa mas ingin ke Jakarta?

Ingin merubah nasib menjadi lebih baik lagi.

Mas tinggal di Jakarta sama siapa?

Sama paman di daerah Kemayoran.

Yang menawarkan pekerjaan ini ke mas siapa?

Paman saya.

Bisa ceritakan sedikit gak mas perjalanan mas dari Madura kesini bagaimana?

Jadi, saya memang berniat ke Jakarta, lalu paman saya menelpon bahwa ada pekerjaan untuk saya. Maka berangkatlah saya ke Jakarta.

Ini merupakan pekerjaan pertama mas?

Iya.

Mas kenapa memilih pekerjaan ini?

Karena yang ada hanya ini saja. Ini pekerjaan diwariskan dari paman saya.

Paman mas dulu yang berjualan disini ya?

Iya. Saya tinggal meneruskan saja.

Ingin mencari pekerjaan lain gak?

Ingin. Tapi belum ada.

Cita-cita mas sebelum bekerja seperti ini apa mas?

Ingin menjadi pegawai negeri sipil.

Suka duka mas selama berjualan apa saja?

Sukanya kalo lagi banyak yang beli. Kalo dukanya pas lagi dikejar Kamtib.

Mas, kalo boleh tau, pendapatan mas sehari-hari berapa?

Kira-kira 30 sampai 40 ribu.

Pendapatan terendah dan pendapatan tertinggi yang pernah mas dapet berapa?

Kalau paling rendah 20 ribu. Dan paling tinggi pernah sampai 80 ribu.


Cukup gak mas untuk kehidupan sehari-hari?

Kalo untuk saya sekarang ini yang masih bujang, pendapatan tersebut cukup.

Pendapatan tersebut bisa cukup karena mas menghemat atau memang benar-benar cukup untuk kebutuhan sehari-hari?

Saya hemat-hemat.

Pernah gak mas ada pembeli yang resek?

Oh, gak ada. Kan yang beli cewek semua. Yang resek itu kamtib. (Mas ahmad seringkali dikejar oleh Kamtib yang tidak memperbolehkannya berjualan di trotoar depan SMA Santa Ursula)

Sekarang usaha mas lagi maju gak?

Belakangan ini penghasilannya cenderung turun. Gak tau kenapa.

Harapan mas untuk kedepannya apa?

Harapan saya supaya bisa jualan di dalam sekolah (lapangan parkir) supaya gak dikejar kamtib lagi.

Biodata

Nama lengkap : Ahmad Nasir

Nama Panggilan : Ahmad

TTL : Madura, 21 Mei

Agama : Islam

Status : Bujangan







Refleksi Pribadi

Saya lihat dunia ini seperti tidak adil. Banyak masyarakat di bawah umur seperti anak-anak sudah harus mencari nafkah dengan mengamen atau berjualan. Padahal seharusnya anak seumuran mereka kewajibannya hanya satu yaitu belajar.

Masayrakat banyak dating ke Jakarta karena menganggap akan menjadi orang sukses. Tapi kenyataannya kehidupan di Jakarta sangan susah. Mencari pekerjaan di kota besar seperti Jakarta ini tidak mudah. Orang butuh bekerja keras dan banting tulang. Ada sebagian orang yang kurang beruntung. Bila tidak mempunyai skill maka orang tersebut tidak akan sukses.

Tapi saya dapat mengambil pesan-pesan dari orang-orang yang berpenghasilan kecil. Saya bisa lihat kegigihannya untuk terus dapat menempuh hidup di Jakarta walaupun penghasilan yang mereka dapatkan sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak mudah menyerah.

Seperti Mas Ahmad penjual minuman di SMA Santa Ursula. Dia berasal dari sebuah desa di madura. Mulai usia 17 tahun ia merantau nasib ke Jakarta demi mendapat kehidupan yang lebih baik dan untul mengejar cita-citanya menjadi pegawai negeri sipil. Tapi akhirnya dia hanya menjadi penjual minuman. Dia bekerja dengan keras sebagai penjual minuman. tapi hasil yang dia dapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itupun sudah dia hemat-hemat pemakaiannya.

Saya sadar, hanya satu kunci sukses agar bisa terus bertahan. Yaitu tidak mudah menyerah dan terus berusaha.

Erika Prabawati

XI IPS 1 / 11




Refleksi Religiositas

Hari Jumat, 18 April 2008 yang lalu, saya dan teman sekelompok saya, Erica, mewawancarai Mas Ahmad Nasir. Mas Ahmad sudah tidak asing lagi bagi kami. Dia adalah orang yang paling dicari-cari oleh siswi Santa Ursula (dan supir-supir mereka pula) jika dahaga di siang hari yang panas menuntut untuk diredakan. Ya, Mas Ahmad adalah penjual minuman ringan di depan Sekolah Santa Ursula. Berbagai minuman, dari air mineral hingga minuman bersoda tersedia lengkap di gerobak sepedanya.

Dari hasil wawancara dengannya, saya mengetahui bahwa ia memulai perjuangannya di Jakarta sejak berumur 17 tahun. Usianya pada saat itu (tahun 2000) seumuran dengan saya sekarang. Sulit dibayangkan rasanya, saya yang berumur hampir 17 tahun masih enak-enak hidup dari penghasilan orangtua, sedangkan mas Ahmad sudah bersusah payah merantau dari Madura ke Jakarta untuk mencoba memperoleh kehidupan yang lebih baik. Itupun dengan kehendaknya sendiri, tidak ada yang menyuruh.

Perjuangannya cukup menggugah hati. Saya masih ingat, beberapa bulan yang lalu, mas Ahmad sempat tidak berjualan selama seminggu lebih. Kabarnya, Satpol PP, atau lebih dikenal dengan KAMTIB, sedang melakukan razia pedagang kakilima. Daripada barang dagangannya disita, mas Ahmad memilih untuk tidak berjualan. Bayangkan kerugian yang dideritanya jika ia kena razia. Dengan tidak berjualan seminggu lebih pun penghasilannya berkurang drastis, apalagi seluruh barang dagangannya disita? Maka dari itu dia berharap agar dia bisa berjualan di dalam sekolah.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, sulit memposisikan diri saya dengan situasi yang dia alami. Saya tentu sudah merasa putus asa menghadapi kasus seperti di atas. Tetapi mas Ahmad tidak, buktinya dia masih setia berjualan di depan sekolah sampai sekarang.

Tentu bukan cita-citanya untuk bekerja sebagai penjual minuman. Ia sendiri bercita-cita menjadi pegawai negeri. Mendengar ia berkata tanpa ragu tentang cita-citanya, saya merasa sedikit ditegur. Saya saja, yang nasibnya bisa dikatakan lebih baik daripadanya, sebenarnya belum merencanakan masa depan saya. Mungkin sudah ada, namun belum jelas arahnya kemana.

Dengan mengetahui kisah hidup mas Ahmad, saya menjadi terinspirasi untuk berusaha dengan dedikasi yang lebih. Tentunya tidak berusaha sebagai pedagang minuman, tetapi sebagai pelajar. Saya harus lebih semangat mengejar masa depan saya. Dengan adanya kemudahan-kemudahan yang tersedia, seharusnya saya lebih fokus menggapai cita-cita, bukannya membuat cita-cita saya menjadi lebih ‘kabur’ dengan bersantai dan bermanja-manja. Jujur saja, saya merasa belum maksimal dalam berjuang dalam pelajaran saya. Masih banyak hal yang masih dalam kendali saya yang masih dapat diperjuangkan agar menjadi lebih baik, namun tidak saya perjuangkan secara maksimal. Contohnya, daripada belajar saya lebih memilih nonton televisi, atau saya cenderung menunda-nunda pekerjaan sehingga ujung-ujungnya pekerjaan tersebut tidak selesai. Hal-hal ini masih dapat diperjuangkan untuk diubah bukan?

Demi kebaikan saya sendiri seharusnya saya sadar untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk saya seperti di atas. Banyak sekali orang-orang yang membayangkan dapat hidup lebih baik, seperti hidup yang saya jalani sekarang. Tanyakan saja kepada mas Ahmad.

Bernadetha Indreswari Wisnuputri

XI IPS 1 / 04


XI IPS 1

Indi (4)

Erika (11)

Kehidupan ; Sudut Pandang Seorang Atlit

Pertanyaan

1. Awal mula memilih menjadi atlet. Kenapa? Tidak takut masa depan tidak terjamin? Apa ada komitmen khsus? Motivasi?

2. Apakah perjalanan karirnya ada hambatan? Apa?

3. Mulai main badminton dari umur berapa? Lalu masuk pelatnas bagaimana?

4. Apakah pada awalnya memang bercita-cita jadi atlet?

5. kalau jadi atlet menurut Ko can bisa menutup biaya hidup tidak sih?

6. Kalau tidak, selain jadi atlet profesinya apa lagi?

7. Apakah Ko Can juga mengarahkan anak-anak jadi atlet? atau malah bukan jadi atlet?

8. Bisa ceritakan aktivitas Ko Can sehari-hari? Apa setiap hari pulangnya malam?

9. Sudah puas belum dengan hasil yang dicapai saat ini?

10. Apakah ada perasaan bangga karena semua orang kenal, bahkan ngefans sama Ko Can?

11. Target ke depan yang paling nomor satu apa?

12. Selalu optimis?

13. Selalu memulai dan menutup hari dengan berdoa?

14. Dengan aktivitas yang begitu padat apa masih menyempatkan diri ke gereja?

15. Seberapa besar paran Tuhan dalam kehidupan Ko Can?

16. Pernahkah merah tidak sanggup menghadapi tanggung jawab?

17. Momen kejuaraan yang paling berkesan?

18. Tips-tips disiplin

19. Harapan/ Kesan untuk para junior

20. Prediksi bulutangkis Indonesia di Olympic dan Thomas&Uber Cup


Jawaban : (video)
di paling bawah

Data Pribadi

Nama lengkap : Candra Wijaya
Nama baptis : Rafael
Nama Panggilan : Ko Can
Nama Istri : Caroline Indriani
Nama Anak : 1. Gabriel Christopher Wintan Wijaya (6)
2. Christina Josephine Wintanita Wijaya (4)
TTL : Cirebon, 16 September 1975
Anak ke : 2 dari 4 bersaudara
Kakak : Indra Wijaya
Adik : 1. Rendra Wijaya
2. Sandrawati Wijaya
Tinggi/Berat : 175cm / 73 kg
Hobi : Memelihara binatang (Ikan, burung)
Masuk Pelatnas : 24 September 1993
Motto : Berikanlah yang terbaik apa yan bisa kamu berikan




Refleksi Wawancara dengan Candra Wijaya


Awalnya kita bingung menentukan siapa yang harus diwawancarai. Akhirnya Finka mengusulkan untuk mewawancarai seorang atlit. Kami pun menyetujuinya, karena juga pasti jarang ada yang mewawancarai atlit. Setelah mendapat nomor teleponnya dan membuat janji, ternyata Candra Wijaya, atlit yang ingin kami wawancarai, sering tidak bisa karena waktunya yang padat. Sampai akhirnya kami berhadil mewawancarainya.
Ternyata Candra Wijaya itu baik dan sangat religius. Ia menyerahkan semuanya pada kehendak Tuhan. Sampai sekarang, setelah menjadi atlit yang berprestasi, ia juga tetap bersyukur kepada Tuhan, karena menurutnya tanpa kehendak Tuhan ia tidak akan mungkin seberhasil seperti sekaarang ini. Ia juga bersyukur karena penghasilannya sebagai atlit dapat mencukupi kehidupan keluarganya.
Jadi satu hal yang bisa saya ambil adalah lakukan segala sesuatunya demi kemuliaan Tuhan, karena Tuhan selalu bersama-sama dengan kita.
Elrita XI S 1 - 10


Pada saat mendapat tugas wawancara, yang terlintas dalam benak saya adalah langsung mewawancarai atlet! Itu sudah menjadi hal yang "otomatis" dalam diri saya. Tapi setelah saya membentuk kelompok bertiga (saya,Micheline,dan Elrita) saya berpikir 2 kali untuk mewawancarai seorang atlet. Hambatan dalam pikiran saya adalah karena yang pertama: Menghubungi seorang atlet itu tidak mudah! apalagi atlet nasional yang dalam waktu-waktu ini sangat ketat latihan untuk Thomas & Uber Cup 2008! yang kedua karena saya berpikir teman-teman kelompok saya tidak terlalu interest dengan atlet bulutangkis. Namun, karena terdorong rasa ingin mewawancarai profesi yang berbeda dan termasuk langka tersebut, saya semakin niat untuk mewawancarai atlet. Lalu saya langsung mengutarakan niat saya pada kedua teman saya. Saya rasa saat pertama, mereka masih kuang peduli dengan niat saya, mungkin kami masih akan beralih jika menemui kesulitan untuk mewawancarai atlet tersebut.
Begitu sampai di rumah, saya mulai menentukan akan mewawancarai siapa. Saya sempat berpikir untuk mewawancarai atlet muda yang masih aktif di klub, kaena saya lumayan mengenalnya. Tapi, karena saya ingat kalu Bu Caecil sempat mengagumi Candra Wijaya, maka saya mulai memantapkan pilihan untuk kelompok kami.
Saya memang tahu kalau Candra satu paroki dengan saya, tapi saya belum pernah melihat dia di gere selama ini. Akhirnya saya bilang ke Michelle dan Rita.
Saya : " Eh kita wawancara Candra Wijaya yah,"
Michelle: " Serius lo, Fin?"
Rita : " Yang mana tuh? Serius lo Fin?'
Finka : " Ya donk!" hehe..
Setelah itu, minggu sore tanggal 20 April 2008 setelah pulang gereja jam 5, saya mulai pikir gimana cara ketemu Candra, "si atlet dunia" itu. Saya tahu rumahnya. Saya bingung antara cari tahu nomor teleponnya atau langsung datang ke rumahnya. Saya putuskan untuk mencari tahu nomor teleponnya. Saya bingung lagi cari nomor teleponnya dari siapa. Saya tidak tahu Candra itu wilayah berapa. Yang saya tahu kalau daerah komplek dia wilayah 8 dan 9. lalu, saya coba telepon ketua wilayah 8 tapi tidak bisa. Lalu, berhubung ketua wilayah itu adalah mamanya teman bulutangkis saya, maka saya nekat telepon dia.
Saya : "Halo, bisa bicara dengan Ibu Nelly?"
Rico : "Tunggu sebentar ya, Ci,"
(Rico itu teman bulutangkis saya, umurnya lebih kecil)
T. Nelly : "Iya ada apa ya?"
Finka : "Tante, saya mau tanya Candra Wijaya itu wilayah berapa ya? Karena saya mau wawancara dia buat tugas sekolah. Di wilayah tante bukan?"
T.Nelly : "Oh bukan, dia di wilayah 7. Tapi, bukannya dia lagi bertanding di luar?"
Finka : "Oh mestinya udah pulang sih,"
T.Nelly : "Hmm.., coba kamu telepon rumahnya deh ya.. Nomornya 543-xxx-xxx. Cari istrinya dulu aja"
(saya kaget karena si Tante punya nomornya Candra)
Finka : "Ok, thanks Tan..."
Waktu itu jam 8 malam. Begitu dapat nomor teleponnya saya langsung telepon. Yang angkat pembantunya.
Saya :"Bisa bicara dengan Ci Lina?"
Pmbntu :"Ibunya udah tidur"
Finka :"Ok Thanks"
Wah, udah tidur, besok saya telepon lagi deh. Besoknya tanggal 21, sore-sore.
jam 4 : "Bu Linanya lagi pergi"
jam 6 : "Bu Linanya belum pulang, antar les anaknya, mungkin jam 8 baru pulang,"
Saya bilang ke Rita dan Michelle untuk coba telepon juga, ternyata hasilnya sama, dai belum pulang.
jam 8 : "Ibunya belum pulang"
Besoknya, menurut analisa saya, Ci Lina dan anak-anaknya lagi jemput Candra di airport yang baru pulang dari kejuaraan Asia di MAS. Akhirnya tanggal 22 April, hari ulang tahun saya. Jam 9 pagi sebelum saya pergi, saya telepon ke rumah Candra dan yang angkat Candra sendiri.
Finka : "Halo. Bisa bicara dengan Candra Wijaya?"
Chandra: "Ya. Saya sendiri,"
Finka : "Saya Finka dari Santa Ursula. Apa saya bisa wawancara Ko Candra untuk tugas sekolah?"
Chandra: "Hmm.. Tapi sekarang saya udah mau pergi nih, untuk bawa obor. Mungkin sampe sore acaranya,"
Finka : "Oh. Paling cuma bentar aja sih kc. 15 menit"
Chandra: "Boleh sih, nanti malam coba telepon lagi aja yah,"
Finka : "Ok deh,"
Wah, akhinrya saya langsung ngomong ke Candranya. Tapi masih belum jelas waktu dan kapannya. Semula saya berencana memotret aktifitas Candra saat membawa obor,saya juga sudah hubungan dengan Michelle untuk janjian di Senayan. Ternyata rute obor diubah dan tidak sembarang orang boleh liat. Jadi, kita batal memotret.
Malamnya, pulang dari Senayan saya menelpon lagi ke rumah Candra dan diangkat oleh istrinya. Ternyata Candra baru saja pergi dan pulangnya malam sekitar jam 10. Jadi kami membuat ulang janji pada esok harinya tanggal 23 April malam. Memang belum tahu jamnya kapan. Ci Lina menawarkan supaya nanti dia yang akan menghubungi kami. Malam sekitar pukul tujuh kurang, Ci Lina menelpon kalau Candra bisa ditemui pukul 10 malam. Jadi, saya langsung hubungi Michelle dan Rita supaya jam 10 tepat datang ke rumahnya. Tapi ternyata Ci Lina baru liat sms dari Candra kalau dia ada di acara 4 matanya Tukul dan pulang malam sekali. Ci Lina minta maaf banget tapi kami memaklumi. Akhirnya kami pulang dan berharap besok bener-bener bisa wawancara. Dan dia akan hubungi kita lagi. Dalam doa saya mohon supaya bisa cepat selesai wawancaranya. Saya tergetkan tanggal 24 harus sudah ketemu.
Tanggal 24 April.
Pagi-pagi benar jam 7. Saya coba telepon lagi dan yang angkat Ci Lina. Saya tanya apa bisa kalau kita samperin Candra ke PBSI Cipayung. Tapi kata Ci Lina masuknya susah karena ada satpamnya. Jadi saya pikir ya sudah seperti rencana semula aja. Ci Lina kasih kabar kalau Candra sudah di rumah pk 15.00. Ci Lina telepon HP saya dan bilang bisa wawancara sekarang. tapi saya bilang teman saya masih ada di daerah Senayan jadi 2 jam lagi kira-kira dan akhinrya kata Ci Lina ketemu di kolam renang aja karena anak-anaknya pada berenang di sana. Akhirnya kami semua setuju dan kira-kira jam setengah 5 kami tiba dan ketemu sama Ci Lina. Candranya lagi keluar sebentar karena dia kira jam 5an kita baru datang. Sambil menunggu Ko Candra datang, saya, Michelle, dan Rita ngobrol-ngobrol dulu sama Ci Lina dan Tania anaknya. Kami sempat foto juga. ternyata Ci Lina dulu juga atlet bulutangkis dan malah sempat hijrah ke Singapura selam 1 tahun dengan adiknya Ronald Susilo yang sampai sekarang masih membela Singapura. Kalau tidak salah Ci Lina pergi tahun 88--89. Begitu lulus SMA dia langsung ke Singapura, waktu itu zaman Mia Audiva. Saya banyak berdiskusi tentang bulutangkis dengan Ci Lina. Tentang Klub Pelita, teman-teman saya yang dia juga kenal, setidaknya dulu di SMA Ragunan dan Ehm.. saat di bertemu Candra di klub (umur 13 tahun). Kami juga ngobrol tentang anak-anaknya, sedikit tentang kehidupan dan banyak menganalisis atlet-atlet bulutangkis zaman sekarang. Obrolan berlangsung mengalir dan lumayan seru. Saya merasa cocok dapat bertukar pikiran dengannya dan juga tambah pengetahuan (salah satunya istilah nyolong umur) hehe.. Ci Lina orangnya ramah, sederhana, sayang keluarga, disiplin, easy going, tidak ribet, dan tepat janji. Dia juga sabar sebagai ibu rumah tangga dan istri seorang atlet yang kebanyakan jarang di rumah. Setelah kami lama berbincang-bincang (sayangnya tidak direkam), Candra datang. Akhirnya kami bertiga pindah tempat duduk yang ditunjuk Ko Candra.
Pertama-tama Ko Candra kelihatan agak kaku dan jaim. Kami duduk duluan dan bagi tugas. Saya bagian tanya-tanya, Michelle mereka, an Elrita mencatat kalimat-kalimat penting. Wawancara dimulai mungkin pukul 17.15an. Tapi sebelumnya kami bersalamn dan perkenalan. lalu Ko Chandra duduk dan bertanya, "Apa nih yang bisa dibantu?"
Finka : "Iya. Kita mau wawancara, nanya-nanya koko buat tugas sekolah kita, langsung aja yah pertanyaannya," (bertanya)
Candra: "Hm.." (sambil ngelirik) " Pertanyaannya yang gitu-gitu yah?"
Finka : "Hmm.. iya sih kira-kira,"
Lalu Ko Candra menjawab dengan hati-hati dan sopan banget sampe kira-kira di pertanyaan ketiga dan keempat saya mulai lebih ke arah ngobrol-ngobrol dan tidak terpaku sama daftar pertanyaannya. Akhirnya Ko Candra juga jadi lebih santai dan banyak guyonnya juga. Suasana jadi enak dan mengalir.
Ko Candra orangnya ternyata tidak kaku. Sangat baik, humoris, jujur, sabar, rendah hati, tidak sombong, dan ternyata... sangat religius samapai dia pernah berpikir untuk jadi pastor! Wah.. hebat deh..
Selain itu dia juga simpatik..
Ga salah deh banyak yang ngefans..
Semula Michelle dan Rita yang agak buta bulutangkis jadi tertarik dan ikut simpatik sama Candra (saya jadi senang). Candra cerita kalau dia (pertama) orang yang amat religius, (kedua) dia tetep mau ikut Thomas tahun ini padahal sudah tidak di Pelatnas lagi, (ketiga) di benerr-bener bangga waktu bisa bawa pulang emas di Olimpiade Sydeney 2000 sama Ko Tony Gunawan.Ko Candra juga cerita motivasinya atas prestasi yang diraih kokonya (Indra Gunawan), trus gimana dia ketemu Ci Lina (di gereja pagi-pagi jam 6), samapai merindingnya waktu naynyi Indonesia raya di negeri orang, atau gak sempet nangis karena lagu Indonesia Rayanya kecepetan (hehe.. becandaan..). Ko Candra juga bilang sebetulnya Indonesia itu potensinya ada, tinggal masing-masing pribadinya aja. dia juga tidak mau maksain anaknya (Wintan dan Tania) untuk main bulutangkis, dia cuma ngedukung aja stiap cita-cita anaknya. Ko Candra mengakui kalau orangtuanya 'agak maksa' juga supaya anak-anaknya jadi pebulutangkis karena dari keluarganya (Engku, dll tidak ada yang 'jadi'.Dan terjadinya 'di tangannya' (sambil ketawa.. bercanda)
--Di sela-sela wawancara Wintan muncul dan reflek saya ajak bercanda dan salam. Dia lucu sekali, tidak takut orang.--
Saat ditanya pernah down aatau tidak Ko Candra bilang pernah. Tapi, dia selalu ingat pepatah "Jatuh 100 kali tapi harus bisa bangun 1000 kali. Yang penting berpikiran positif." Tentang penghasilannya sekarang dia mengaku cukup puas dan sangat Puji Tuhan. Cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan dia dan keluarganya. Tapi tetap, Ko Candra juga memikirkan bisnis lain di luar menjadi atlet. Sekarang ini dia juga mulai merintis bisnis alat-alat olahraga dan juga terjun ke dunia pertambangan seperti solar dan batu bara. Ko Candra tetap ingat ajaran orang tuanya untuk selalu menabung dan tidak menghambur-hamburkan uang begitu saja. Memang pilihan yang berat menjadi atlet. Ko Candra mengaku dia termasuk beruntung, Tuhan selalu memberikan jalan. Tentang prestasinya, Ko Candra mengaku puas tapi belum puas juga. Masih ada yang ingin dia raih.
Ko Candra juga orang yang selalu optimis. Pasti bisa. saat berada di suatu negara, Ko Candra selalu menyempatkan diri ke Gereja walaupun cuma sendiri. Peran Tuhan begitu besar bagi Ko Candra. "Tuhan selalu mengikuti Koko" bgeitu katanya. Ko Candra juga cerita hobinya yang lain. Ko Candra sangat menyukai binatang khususnya burang dan ikan. Begitu berbicara tentang ini, matanya langsung berbinar-binar. Idolanya adalah Mother Teresa, Ko Candra begitu mengaguminya. Motto hidup dan pesan untuk anak muda zaman sekarang dari Ko Candra, yaitu : "Berikanlah yang terbaik apa yang bisa kamu berikan dan jauhi hal-hal negatif, selalu berpikir positif, dan beri dedikasi yang maksimal" Ko Candra merasa amat senang bila dirinya dapat berguna bagi orang lain dan dapat memuliakan Tuhan. Seperti contohnya ia sering memberi kesaksian, bahkan diminta tolong oleh Gereja Kristen dan kabarnya akan dipublikasikan. Kami merasa sangat senang dapat bertemu dengan Ko Candra. Sangat simpatik dan inspiratif. Tentang saudara-saudaranya, mereka sangat senang berkumpul terutama saat Natal dan Xin Jia. tapi Ko Candra cenderung mandiri dan mencari Tuhan untuk menceritakan masalahnya.Semua yang diucapkannya tulus dari hatinya. Lain kali kami akan betemu lagi. (semoga). Sampai jumpa lagi Ko, Wintan! Yeay..

(Kesimpulan)
- Penghasilan yang cukup diperoleh melalui suatu kerja keras dan usaha. Juga disertai oleh keberanian dalam menentukan pilihan.

- Hambatan-hambtan itu selalu ada, bagi orang berhasil sekali pun tapi harus dipatahkan oleh motivasi dalam diri pribadi kita. Fokus pada tujuan awal kita.

- Hidup kita sepenuhnya disandarkan pada kebesaran Tuhan. Dalam kondisi apa pun tetap harus ingat dengan Tuhan. Tuhanlah yang selalu memberikan kita jalan.

- Nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua harus selalu kita terapkan. Orang tua selalu mengingatkan untuk menabung, lakukanlah. Orang tua selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya.

- Kita tidak boleh cepat puas dengan apa yang kita peroleh. Orang lain juga berusaha sangat keras, dapat melebihi kita makakita tidak boleh kalah. Segala pencapaian yang kita peroleh harus kita pertahankan.
Finka XI S 1 - 13


Menjadi reporter dadakan dan mewawancarai orang terkenal itu ternyata tidak mudah. Setelah berdiskusi beberapa lama, kelompok saya memutuskan untuk mewawancarai atlit bulutangkis. Beruntung, Finka memiliki nomor Candra Wijaya, peraih Medali Emas Sydney Olympic 2000. Namun, kenyataannya perjalanan untuk mewawancarai seorang Candra Wijaya tidak semudah itu. Setelah menelpon berulang-ulang kali ke rumahnya, kami tetap tidak bisa berbicara langsung baik dengan Candra Wijaya maupun istrinya. Saat akhirnya berhasil menghubungi sang istri yang akrab disapa Ci Lina, kami diminta datang ke rumahnya yang berlokasi di Taman Semanan pada pukul 10 malam.
Tanggal 23 April 2008 datanglah kami ke rumah kediaman keluarga Chandra Wijaya dengan semangat yang meluap menantikan acara wawancara kami. Setelah melewati satpam yang menanyai kami berbagai macam hal, kami diijinkan untuk masuk ke rumahnya. Di sana Ci Lina menyambut kami dengan senyum ramahnya. Sayang, senyum ramahnya tidak menunjukkan pertanda baik. Ternyata Ko Candra harus mengikuti siaran acara Tukul di Trans TV hingga larut malam. Terpaksa kami pulang dengan hati kecewa.
Keesokan harinya kembali kami ditelepon. Katanya kami bisa mewawancarai Ko Candra di Sport Club Taman Semanan, karena kebetulan anak-anak sedang les berenang di sana. Telepon itu cukup mendadak, dan kebetulan saya sendiri sedang berada di tempat yang cukup jauh dari Taman Semanan.Saya sangat kaget, dan akhirnya meminta tolong utnuk merundingkan waktu kembali. Setelah acara kebut-kebutan di jalan, akhirnya saya bertemu dengan Finka dan Rita di depan Sport Club Taman Semanan. Saat itu kira-kira pukul 16.30. Ternyata Ko Candra sendiri sedang pergi mengunjungi temannya dan yang ada hanyalah Ci Lina dan anak-anaknya yang sedang les berenang. Sembari menunggu kami pun mengobrol singkat dengan Ci Lina. Mulai dari karirnya sebagai atlit di Singapore dulu, lalu mengenai bulutangkis dan atlit-atlit saat ini, mengenai gereja, sampai mengenai perbedaan sekolah internasional dan nasional, dan akhinrya kami mengobrol mengenai film yang sedang diputar di bioskop saat ini.
Sekitar pukul 17.00 akhirnya Ko Candra yang kami tunggu-tunggu pun datang. Setelah menyalami kami, ia pun memohon maaf karena telah membuat kami menunggu. Dari sana kami pun berpindah lokasi ke tempat yang memiliki kursi dan meja untuk kami mengobrol dengan leluasa. Wawancara kami awalnya berjalan dengan kaku, namun lama-kelamaan tampaknya kami mulai bisa menyesuaikan diri sehingga percakapan dapat mengalir dengan sendirinya.
Melalui wawancara itu saya dapat memetik banyak pelajaran. Mungkin orang-orang berpikir menjadi atlit terkenal adalah hal yang menyenangkan.Tentu saja menyenangkan, membanggakan pula malah. Namun yang tidak terpikirkan oleh orang-orang itu ialah perjuangan untuk menjadi atlit itu sendiri. Latihan yang berat, kejenuhan, dan ketidakpastian pada awal karir. Terlebih waktu-waktu yang banyak dilewati bukan untuk bersenang-senang dan bersantai, tapi untuk berlatih mati-matian demi meraih sebuah kata sukses. Sebagai orang awam, hal-hal seperti itu merupakan hal yang baru bagi saya. Namun, setelah saya pikir kembali, semuanya itu masuk akal. Untuk meraih kesuksesan memang tidak ada kata instan. Semuanya pasti harus melewati suatu proses dan selama proses itu sendiri pasti ada hal-hal yang harus dikorbankan. Bagi seorang atlit hal yang harus dikorbankan adalah waktu dan sekolah, namun bagi profesi lain mungkin ada hal lain yang harus dikorbankan. Jadi memang, meraih kata sukses itu tidaklah mudah adanya,
Pelajaran lain yang saya dapat berasal dari diri Ko Candra sendiri. Bagaimana ia yang bisa dibilang sudah sukses, masih dan selalu berserah kepada Tuhan. Bahkan ia mau mengakui akan adanya campur tangan Tuhan dalam setiap kejadian yang terjadi dalam dirinya. Menurut saya, orang yang berni mengakui hal itu adalah orang hebat. Lebih heabtnya lagi di tengah kesuksesannya itu ia juga selalu mencari Tuhan. Ia mengaku bahwa ia tetap ke gereja di sela-sela kesibukannya bahkan saat ia berada di luar negeri. Hal ini cukup mengagetkan saya, karena setahu saya biasanya orang-orang yang sudah terkenal akan menjauh atau lupa pada Tuhan karena kesibukan mereka. Sebenarnya masih banyak hal lain dari Ko Candra yang membuat saya takjub dan salut. Seperti kesederhaanaan dan keramahannya pada kami pun patut diacungi jempol. Padahal saya sendiri merasa bahwa kami telah menginterupsi waktu keluarganya yang pastinya sangat berharga.
Kesimpulannya untuk mencapai kesuksesan orang butuh banyak pengorbanan. Namun, kesuksesan itu sendiri tidak akan pernah lepas dari campur tangan Tuhan, oleh karena itu kita tidak pernah boleh lupa pada Tuhan, baik saat berjuang untuk mencapai kesuksesan maupun saat kita telah mendapatkan kesuksesan tersebut, karena tanpa Tuhan kita bukanlah apa-apa.

Micheline XI S 1 - 22

KEBAHAGIAAN DIBALIK ASAP

Senin, 21 April 2008 Amanda dan Tsara mendapat kesempatan untuk mewawncarai seorang pedagang jagung bakar di daerah rawamangun. Berikut hasil wawancara kami :

T ( Tanya ) : Nama lengkap, Bapak?
J ( Jawab ) : Kafirudin

T : Bapak berasal darimana?
J : Dari Purwokerto, Jawa Tengah

T :Berapa usia Bapak sekarang ini? Apakah Bapak sudah menikah? Sudah punya berapa anak, pak?
J : Saya berumur 35 tahun, saya sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak.

T : Di Jakarta ini Bapak tinggal dimana?
J : Saya dan keluarga tinggal di Cipinang Muara.

T : Sebenarnya apa cita-cita Bapak saat masih bersekolah dulu?
J : Sebenarnya dulu saya sangat ingin jadi mekanik, oleh karena itu saya bersekolah di STM

T : Bagaimana ceritanya Bapak bisa sampai di Jakarta?
J : Karena setelah lulus dari STM ( Sekolah Teknik Menengah ) di Purwokerto, tidak ada lapangan pekerjaan yang menarik disana. Dan jaman dahulu, Jakarta sebagai ibukota negara merupakan tempat yang strategis untuk mencari pekerjaan. Jadi saya dan kelurga saya memutuskan untuk mencari pekerjaan di Jakarta dan pindah ke Jakarta.

T : Kenapa Bapak memililih untuk menjadi pedagang jagung bakar?
J : Pada awalnya, saya tidak berjualan jagung, saya bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Tadinya yang menjual jagung bakar ini bukan saya tetapi saya titipkan pada orang lain. Namun orang tersebut minta berhenti untuk menjual jagung. Saya bingung tidak ada yang meneruskan pekerjaan ini, jadi saya memutuskan untuk berhenti dari pabrik dan beralih profesi menjadi pedagang jagung bakar samapai sekarang. Selain itu jagung bakar itu praktis, bahannya gampang untuk dijual dan banyak digemari oleh orang-orang.

T : Kenapa Bapak tidak mencari orang lain atau saudara untuk menggantikan berjualan jagung? Jadi Bapak bisa tetap bekerja di pabrik.
J : Saya sudah berusaha mencari penggantinya, tetapi mencari orang yang cocok, yang jujur susah. Jadi saya memutuskan saya saja yang berjualan.

T : Bapak sudah berjualan jagung bakar ini dari kapan?
J : Saya sudah mulai berjualan jagung dari tahun 1991

T : Kenapa Bapak memilih untuk berjualan di Rawamangun?
J : Menurut saya, Rawamangun ini tempatnya sangat strategis, jadi saya bisa mendapat keuntungan yang cukup banyak di sini.

T :Kan tempat tinggal Bapak jauh dari Rawamangun, jadi setiap hari Bapak mendorong gerobak ini daei Cipinang Sampai Rawamangun?
J : Ooh tidak, saya menitipkan gerobak ini di sekitar rawamangun, Jadi saya tidak perlu repot-repot untuk mendorong gerobaknya.

T : Berjualan di Rawamangun dari jam berapa sampai jam berapa, pak?
J : Mm, dari jam setengah 7 malam sampai dengan jam 12 malam atau tidak sampai jualan saya habis.

T : Berapa kira-kira penghasilan Bapak per hari?
J :Tidak tentu, tergantung cuaca dan pelanggaan yang datang. Rata-rata per hari keuntungan bersih saya sekitar Rp 100.000,00

T : Dengan penghasilan Bapak apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari?
J : Yaa, dibilang cukup ya cukup, dibilang tidak ya juga tidak. Jadi semunya dibuat cukup saja, asal kita pintar memutar uang tersebut.

T : Tapi, dengan penghasilan tersebut apakah Bapak bisa menyekolahkan kedua anak Bapak?
J : Iya, kedua anak saya sampai sekarang masih bisa bersekolah. Anak pertama saya kelas 1 SMP di SMPN 52 dan anak kedua saya masih kelas 6 SD.

T : Darimana Bapak mendapatkan resep untuk membuat jagung bakar ini?
J : Saya mendapatkan resep ini dengan cara diajarkan oleh seseorang. Sejak saat itulah saya mulai mencoba-mencoba dan ternyata berhasil dan disulai pelanggan saya.

T :Apakah istri dan keluaga mendulung pekerjaan Bapak yang sekarang ini?
J : Tentu saja, istri dan keluarga saya mendukung pekerjaan saya ini. Mereka tidak pernah mengeluh dan mensyukuri apa yang telah saya berikan.

T : Apakah Bapak berniat untuk berganti pekerjaan?
J : Ya kalau ada pekerjaan yang cocok saya mau. Saya kan kalau siang nganggur, jadi bolehlah sambil mengisi waktu luang.

T : Boleh tau suka duka Bapak selama menjadi pedagang jagung bakar tidak?
J : Ooh boleh, suka nya banyak begitu juga duka nya. Suka nya kalau lagi habis dagangannya jadi bisa bawa uang untuk penuhin kebutuhan. Anak isteri juga senang. Dukanya kalau hujan, dagangan jadi tidak laku.

T: Pak, boleh tidak Bapak menceritakan sedikit kehidupan sehari-hari Bapak selain berdagang di sini?
J: Mm, seperti yang telah saya katakan tadi pada siang hari sampai dengan pukul lima saya tidak bekerja saya di rumah saja bersama isteri dan anak saya. Saya di rumah membantu isteri saya menjaga warung untuk menambah penghasilan keluarga. Kira-kira pada pukul lima saya berangkat ke rawamangun untuk siap-siap berdagang. Setelah selesai berjualan, kira-kira pukul 12 malam saya pulang ke rumah untuk beristirahat. Ya itulah kehidupan sehari-hari yang saya jalani.

T: Bagaimana perasaan Bapak dalam menjalani pekerjaan ini? Bagaimana Bapak bisa menerima keadaan Bapak yang sekarang ini?
J : Ya saya menerima saja apa yang saya kerjakan sekarang ini. Yang penting saya terus berusaha dan berdoa kepada Tuhan agar memberikan jalan yang terbaik bagi saya dan keluarga. Saya selalu mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri saya, karena saya tahu masih banyak orang yang lebih kekurangan daripada diri saya. Selain itu ini juga berkat isteri dan anak-anak saya yang selalu mendukung dan menerima saya apa adanya.

T: Apa tujuan dan cita-cita hidup Bapak sekarang ini?
J : Tujuan hidup saya adalah bekerja sebagai ibadah dimana dalam agama saya, yaitu agama Islam, segala sesuatu dalam hidup ini haruslah disyukuri. Karena apabila kita mensyukuri dan menerima apa adanya yang diberikan oleh Tuhan kita sebagai umat-Nya pasti akan diberikan balasan yang setimpal. Jadi tujuan hidup saya sekarang ini adalah menjadi orang yang baik bagi keluarga, kerabat saya serta bagi Tuhan sendiri. Karena menurut saya dimata Tuhan kita ini sama sebagai makhluk ciptaan-Nya yang membedakan kita hanyalah amal ibadah dan ketulusan kita dalam menjalani hidup ini, karena saya tahu Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik bagi semua umat-Nya.
Kalau berbicara mengenai cita-cita hidup saya adalah mempunyai keluarga yang sakinah mawadah warohma sesuai dengan ajaran agama Islam serta saya ingin anak-anak saya berhasil di kemudian hari dan mempunyai kehidupan yang lebih baik dari saya sekarang ini. Sebenarnya cita-cita terbesar saya adalah bisa membimbing keluarga dengan baik sesuai ajaran-Nya sehingga kami sekeluarga bisa masuk Sorga.

Demikian hasil wawancara kami bersama Pak Kafirudin, pedagang jagung bakar di Rawamangun. Kami harap dengan adanya wawancara yang kami lakukan para remaja sekarang lebih bisa menghargai, mensyukuri hidup dan mengutamakan ajaran-ajaran agama dan bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

REFLEKSI PRIBADI AMANDA


Senin, 21 April 2008 yang lalu, saya ( Amanda ) mewawancarai seorang pedagang jagung bakar di daerah Rawamangun tepatnya di Jalan Balai Pustaka Timur. Saya berkesempatan untuk mewawancarai Bapak Kafirudin untuk memenuhi tugas religiositas yang mengangkat tema “Etos Kerja Menurut Agama-agama”. Saya mewawancarai Bapak Kafirudin ini bersama Tsara, teman sekelas saya.

Yang saya dapat dari hasil wawancara ini adalah bahwa tidak semua orang bisa merasakan kehidupan yang enak, nyaman, tercukupi segalanya, akan tetapi banyak sekali orang yang harus meraup sedikit uang dari membanting tulang setiap hari tanpa mengenal lelah demi membahagiakan keluarga dan mengisi perut yang kosong itu. Pada kesempatan yang langka ini saya berhasil mengupas sedikit banyak dari kehidupan seorang pedagang jagung bakar, Bapak Kafirudin. Pak Kafirudin ini tetap terlihat ceria walaupun sedang sibuk-sibuknya membakar jagung pesanan pelanggan. Ia dengan semangat menceritakan kehidupannya yang tidak seberuntung kita dan orang-orang di sekeliling kita kepada saya. Ia menceritakan bagaimana awalnya ia bisa sampai ke Jakarta padahal Pak Kafirudin ini merupakan asli orang Purwekerto, bagaimana ia bisa sampai berjualan jagung padahal tadinya Pak kafirudin sangat ingin menjadi mekanik, dan cerita-cerita unik lainnya tentang keluarganya, kehidupan sehari-hari yang selalu ia syukuri itu kepada saya.

Setelah hampir kurang lebih setengah jam saya dan Tsara mendengarkan cerita Pak Kafirudin dengan sesekali bertanya kepadanya, hati saya sangat tergerak dan kedua mata saya seolah terbuka melihat dunia lain dibalik dunia yang selama ini saya jalani. Saya merasa tersentuh dengan semua cerita dan perjalanan hidup Pak Kafirudin ini, ia terlihat begitu tegar menghadapi hidup yang semakin penuh dengan persaingan-persaingan dan selalu mensyukuri apa yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Pak Kafirudin juga terlihat ceria menceritakan isteri dan anak-anaknya, katanya isteri dan anak-anaknya selalu menghargai dan menerima apapun kondisi yang ada pada diri Pak Kafirudin walaupun senang ataupun sedih. Menurut Pak Kafirudin itulah yang menjadi salah satu pemicu mengapa ia masih bertahan berjualan jagung bakar sampai sekarang ini.

Dengan adanya wawancara ini membuat saya tahu dan sadar bahwa segala sesuatu itu sudah ada “jalan-Nya” dari Tuhan, oleh karena itu kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan haruslah bersyukur dengan segala yang ada di dalam diri kita dan yang telah diberikan oleh Tuhan, kita tidak boleh mengingini apa yang bukan menjadi hak kita. Selain itu nilai-nilai yang saya dapatkan karena wawancara dengan Pak Kafirudin ini adalah semua pekerjaan itu sama tidak ada bedanya. Semua pekerjaan akan menghasilkan uang entah untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari atau apapun itu. Jadi kita sebagai remaja sekarang ini hendaklah tidak memandang rendah seseorang hanya karena pekerjaannya, kita haruslah sadar dan menghargai orang lain bahwa semua manusia itu sama dimata Tuhan. Kita diciptakan sederajat oleh tuhan tidak ada yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah.
Amanda XI IPS1/1

REFLEKSI PRIBADI Tsara

Saya (Tsara) bersama teman sekelas saya Amanda dalam rangka mengerjakan tugas Religiositas berkesempatan mewawancarai seorang pedagang jagung bakar di daerah Rawamangun yang bernama Bapak Kafirudin. Dalam mewawancarai Bapak Kafirudin tema yang diangkat adalah “Etos Kerja Menurut Agama-Agama.” Dalam wawancara yang kami lakukan pada hari Senin, 21 April yang lalu, banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat saya ambil.

Dalam wawancara yuang kami lakukan, Bapak Kafirudin menyadarkan kami bahwa dalam hidup janganlah pernah mengeluh dan beranggapan bahwa Tuhan pilih kasih atau tidak menyayangi kita. Karena semua cobaan yang dikasih Tuhan kepada kita tidak akan melampaui batas kemampuan kita, dan dibalik cobaan yang kita terima pasti akan ada hal indah yang telah Tuhan rencanakan bagi kita. Hanya saja kita sering kali tidak mengerti maksud Tuhan tersebut. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah terus berusaha dengan tekun untuk memperbaiki hidup dan tidak lupa untuk terus berdoa.

Bapak Kafirudin juga menyadarkan kami untuk terus bersyukur kepada Tuhan atas semua berkat dan rahmat yang diberikan. Karena tanpa rahmat dan berkat-Nya kita tidak mungkin jadi seperti ini. Dalam hidup janganlah kita melihat ke atas, karena apabila kita terus melihat ke atas kita akan menjadi manusia yang tidak akan pernah merasa puas, padahal apabila kita mau sedikit melihat ke bawah, kita akan sadar bahwa banyak orang diluar kita yang tidak seberuntung kita. Masih banyak orang yang tidak dapat makan, tidak punya rumah, tidak punya orangtua, atau tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap. Maka sudah sepantasnya kita bersyukur dan berbahagia dengan semua yang ada dalam hidup kita sekarang ini

Kita juga harus mencontoh sikap isteri dan anak-anak Bapak Kafirudin yang menerima dan mendukung apapun yang dikerjakan oleh Bapak Kafirudin asalkan pekerjaan itu halal. Keluarga Bapak Kafirudin tidak pernah mengeluh tentang keadaan mereka. Apabila kita melihat kembali sikap kita, seberapa sering kita marah kepada orangtua kita hanya karena permintaan kita tidak terpenuhi? Berbeda sekali dengan sikap keluarga Bapak Kafirudin yang mau menerima hidup dalam kesesederhanaan tersebut.

Satu hal yang ditekankan oleh Bapak Kafirudin adalah dalm melakukan apapun kita harus melakukannya dengan ikhlas. Seberat apapun pekerjaan itu kita harus melakukannya dengan senang hati tanpa rasa keberatan. Karena apabila kita melakukan pekerjaan kita dengan ikhlas dan tulus, maka pekerjaan yang kita lakukan akan menjadi ibadah dan membawa berkah bagi diri kita dan orang-orang di sekeliling kita.

Dari wawancara tersebut saya sadar bahwa dalam hidup kita tidak boleh membeda-bedakan seseorang. Karena Tuhan sendiri tidak membeda-bedakan umatnya. Terbukti dari hasil wawancara kami dengan Bapak Kafirudin banyak nilai-nilai hidup yang dapat kita pelajari darinya. Bukan berarti karena ia hanyalah seorang pedagang jagung bakar kita lebih baik dari dirinya. Berkat wawancaa tersebut saya sadar masih banyak dalam diri saya yang harus diperbaiki dan saya harus lebih bersyukur lagi atas semua berkat yang telah Tuhan berikan dalam hidup saya.
Tsara
XI IPS1/27

OPERATOR WARNET.. KENAPA TIDAK?



OPERATOR WARNET.. KENAPA TIDAK?

Kami (Vinta dan Dora) telah mengadakan wawancara dengan seorang operator warnet, yang kira-kira telah bekerja selama 1 tahun. Apakah menurutnya pekerjaan tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau kah ia belum merasa cukup dengan apa yang ia peroleh selama ini? Mari kita simak wanwancara kami dengan operator warnet tersebut.

Tanya : Nama mas siapa?
Jawab : Nama saya Widodo.

Tanya : Sekarang mas Widodo tinggal dimana?
Jawab : Untuk saat ini saya tinggal di Mangga Besar.

Tanya : Sebelum bekerja sebagai operator warnet, mas Widodo bekerja sebagai apa dan dimana?
Jawab : Dulunya saya bekerja sebagai delivery electronic di Bekasi.

Tanya : Lalu, apa alasan mas Widodo pindah dari tempat bekerja yang lama?
Apakah karena tempat bekerja yang dulu kurang begitu nyaman?
Jawab : Ohh bukan karena itu, saya selalu berusaha untuk menikmati pekerjaan yang saya lakoni. Hanya saja saya ingin mencari pengalaman lain.

Tanya : Hmmm, apa saja pengalaman mas Widodo sewaktu bekerja sebagai delivery
delivery electronic?
Jawab : Sebagai delivery electronic itu kita diharuskan untuk tepat waktu dan berhati-hati, seminim mungkin tidak ada komplain deh...

Tanya : Apakah keluarga mas mendukung pekerjaan-pekerjaan yang mas lakoni
tersebut?
Jawab : Keluarga saya sih dukung-dukung saja, mereka hanya berharap saya harus bekerja dengan sungguh-sungguh karena mencari pekerjaan saat ini semakin sulit.

Tanya: Hmmm, apakah penghasilan mas saat ini sudah bisa mencukupi kebutuhan hidup mas?
Jawab : Bisa-bisa saja sih... Karena saya sendiri belum berkeluarga.

Tanya : Selama bekerja disini suka duka apa yang mas rasakan?
Jawab : Kalu sukanya sih bisa menambah pengalaman saya dan pastinya saya bisa menambah teman..
Kalau dukanya seharian saya tidak bisa kemana-mana.

Tanya : Memangnya sebagai operator warnet, mas mulai bekerja dari pukul berapa?
Jawab : Saya mulai bekerja dari pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore.

Tanya : Apakah ada persamaan antara pekerjaan yang dulu dengan yang sekarang?
Jawab : Tidak ada karena pekerjaannya sudah jelas berbeda.

Tanya : Lebih enak bekerja di tempat yang dulu atau yang sekarang mas?
Jawab : Di sini, karena tidak terlalu sibuk dibandingkan dengan yang dulu.

Tanya :Perlukah ada ketrampilan khusus ketika bekerja sebagai operator warnet?
Jawab : Pastinya perlu, kita harus bisa mengoperasikan komputer agar kalau sewaktu-waktu ada gangguan kita bisa cepat menanganinya.

Tanya :Berarti harus tahu tentang seluk beluk komputer?
Jawab : Iya, kalau disini paling tidak operator harus mengetahui tentang komputer-komputer dasar.

Tanya : Belajar komputer darimana?
Jawab : Belajar secara otodidak dari membaca buku-buku tentang komputer atau biasanya belajar dari teman-teman saya.

Tanya : Kami boleh tahu tidak, cita-cita mas sebelum menjadi operator warnet ataupun delivery electronic apa?
Jawab : Tidak ada, let it flow aja deh...

Tanya : Menurut mas, tujuan mas bekerja itu untuk apa?
Jawab : Yaa, agar bisa mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dan buat saya sih untuk mengisi waktu luang saya juga.




Refleksi

Bekerja bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi di zaman seperti sekarang ini. Begitu ketatnya persaingan ditambah tuntutan zaman makin meyakinkan saya bahwa bekerja itu bukan sesuatu yang main-main karena bekerja berarti kita mengorbankan waktu dan tenaga yang tentunya tidak ingin kita sia-siakan begitu saja. Ada saatnya keadaan membuat kita tidak ingin ‘maju’ lagi, dengan kata lain kita cenderung menyerah dan asa ketika apa yang kita dapat tidak sesuai dengan harapan terutama bila menyangkut dengan pekerjaan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pekerjaan pasti akan ada titik dimana kita merasa tertekan atau mungkin menjadi ogah-ogahan dalam menjalaninya. Berdasarkan hal ini, kita dituntut untuk menikmati setiap pekerjaan yang kita lakukan seberat apapun itu. Karena dengan bekerjalah kehidupan kita sendiri dapat tercukupi. Dan menurut saya pekerjaan akan jauh lebih bermakna bila kita meletakkan ‘jiwa’ kita di dalamnyal, bila kita menikmatinya dan bila kita dipenuhi rasa optimis. Bekerja tidak memandang apakah pekerjaan itu ‘kecil’ atau ‘besar’ dimata orang, tapi baiklah kita memandang bahwa pekerjaan yang kita lakukan tersebut merupakan suatu hal yang ‘besar’ karena dari situlah kita bisa memulai kehidupan dan sebuah kesuksesan dapat diraih dari sesuatu yang kecil itu. Dari hasil refleksi diatas, saya semakin sadar bahwa suatu pekerjaan itu memang membutuhkan pengorbanan yang tidak setengah-setengah. Jiwa kita adalah pekerjaan kita, tanpa jiwa tentulah pekerjaan itu tidak akan hidup.
Vinta XI IPS 1/14



Semua orang berusaha mencukupi segala kebutuhannya agar dapat bertahan hidup. Untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, seseorang perlu bekerja namun, apakah semua orang menyadari betapa pentingnya bekerja? Melalui wawancara yang saya lakukan saya menarik kesimpulan bahwa bekerja itu sangatlah penting untuk masa depan karena dengan bekerja, kita dapat memperoleh penghasilan yang dapat membiayai segala macam kebutuhan kita, tidak semua orang beruntung memperoleh pekerjaan sesuai dengan yang mereka inginkan, dari sananlah saya memperoleh pelajaran baru bahwa tidak semua keinginan yang kita inginkan dapat terwujud dan untuk mewujudkannya kita harus berusaha dengan keras walaupun kadang kita harus merasa kecewa jika usaha kita gagal. Banyak diantara kita sering cepat mengalami putus asa ketika mengalami kegagalan, padahal dengan kegagalan kita mendapat pengalaman yang baik sebagai bekal masa depan kita, pada kenyataannya untuk mencapai kesuksesan seseorang harus bersaing dengan yang lainnya karena di dalam dunia bisnis, yang cepat maka dialah yang dapat. Dari kenyataan ini, secara tidak langsung kami diajak untuk tidak menyia-nyiakan semua kesempatan yang diperoleh karena kesempatan itu tak akan pernah terulang lagi. Melihat betapa sulitnya mencari uang, saya menyadari bahwa seharusnya kita tidak terlalu boros dalam menggunakan uang karena masih banyak kebutuhan-kebutuhan lain yang dapat kita penuhi dengan sisa uang yang kita miliki. Dari hasil refleksi di atas, saya menjadi mengetahui banyak hal yang sebelumnya tidak saya ketahui karena saya belum pernah mengalaminya. Saya berharap semoga dengan refleksi ini, saya menyadari bahwa untuk memperoleh pekerjaan ya kita inginkan, kita harus berusaha dengan keras dan yakin bahwa tuhan akan selalu menyertai kita dalam setiap pekerjaan kita sehingga hasilnya memuaskan.
Dora XI IPS 1/ 18

“Berkah dibalik Gerobak Bakso”



“Berkah dibalik Gerobak Bakso”

Suatu siang di hari Minggu, 20 April 2008, kelompok kami yang terdiri dari Caca, Jeje, dan Yurika, kelas XI IPS 1, sedang berkumpul di rumah Caca, Jl. Janur Kuning 3 untuk berdiskusi soal tugas religiositas yang akan kami buat. Tiba-tiba, perut Jeje berbunyi, tanda ia sedang lapar. Entah mendapat ilham dari mana, seorang tukang bakso lewat di depan rumah Caca. ”Tok... tok... tokk... BAKSSSSOOOO!!!” Dan seketika Jeje langsung lari keluar dan memanggil si tukang bakso sambil melambaikan tangan. ”Bang, bakso!” panggil Jeje. Ting! Lalu kami serentak memutuskan untuk mewawancarai tukang bakso tersebut seraya mencicipi nikmat bakso di siang hari. Berikut adalah percakapan kami dengan tukang bakso yang ternyata bernama SUMARDI.

Tanya (T) : Mas, umurnya berapa?
Jawab (J) : Saya lahir tahun 1983, Mbak. Jadi umur saya berapa, Mbak?
T : Oh, kira-kira 25 tahun, Mas. Asal mana, Mas?
J : Solo, Mbak.
T : Sejak kapan tinggal di Jakarta, Mas?
J : Sejak 2002.
T : Langsung jadi tukang bakso, Mas?
J : Ya iya toh, Mbak.
T : Ngomong-ngomong sudah berkeluarga, Mas?
J : Kebetulan... masih perjaka ting - ting!
T : Orang tua masih ada, Mas?
J : Masih komplit, Alhamdullilah. Sekarang masih sibuk di kampung, membajak sawah.
T : Kalau saudara?
J : Ada 1 kakak, tetapi sudah berkeluarga.
T : Oh... terus yang mengusulkan supaya jadi tukang bakso siapa, Mas?
J : Kakak saya.
T : Modal usaha berjualan bakso ini dari siapa, Mas?
J : Dari uang saya yang sudah saya tabung bertahun-tahun. Itu pun masih kurang banyak, jadi harus minta tambahan dari kakak dan orang tua.
T : Kenapa memilih jadi tukang bakso, Mas? Kan masih ada pekerjaan lain.
J : Iya sih, Mbak. Tetapi berhubung saya cuma lulusan S2, SD dan SMP , ya mau kerja apa lagi... Cuma ini yang bisa saya lakukan sekarang.
T : Sebenarnya, cita-citanya apa, Mas?
J : Seperti orang kampung lainnya, pastinya ingin menjadi pengusaha sukses dan kaya.
T : Memangnya tidak ingin menjadi petani juga dengan meneruskan sawah keluarga?
J : Tidak, Mbak. Saya inginnya menjadi lebih sukses daripada orang tua saya. Tapi toh pada akhirnya saya masih sering meminta bantuan mereka, terutama dari segi materi. Rasanya malu, Mbak.
T : Maaf, Mas, kalau boleh tanya, kira-kira penghasilan per hari berapa?
J : Ya, syukur-syukur dapat Rp 20.000 sampai Rp 25.000 sehari.
T : Hah? Memangnya kerjanya dimulai dari jam berapa, Mas?
J : Jam 12 siang sampai jam 11 malam. Itu pun syukur-syukur bisa habis, Mbak.
T : Mas, rute berdagang bakso dari mana sampai mana?
J : Ya, sekitar – sekitar sini saja, Mbak. Cuma dari Janur Hijau, Janur Kuning, dan Pelepah.
T : Dengan penghasilan yang sebegitu kecilnya, apakah kebutuhan bisa terpenuhi seluruhnya, Mas?
J : Tergantung, Mbak. Kadang-kadang lebih, kadang pas-pasan buat makan, kadang kurang, bahkan harus minta sama orang tua di kampung untuk menambahkan modal. Apalagi sekarang di mana-mana harga terus naik. Jadinya saya harus pintar-pintar memikirkan bagaimana caranya supaya tetap untung, minimal sampai modalnya tertutup, Mbak.
T : Memangnya modal untuk membuat bakso ini berapa, Mas?
J : Wah, tidak tentu, Mbak. Tergantung berapa jumlah daging dan bahan-bahan lainnya yang saya pakai. Apalagi sekarang di mana-mana harga pada naik. Modal yang pasti sih, cuma sewa gerobak dan alat-alat memasaknya seharga 14 ribu sehari. Tapi untungnya saya dapat bonus tempat tidur.
T : Tempat tidur? Maksudnya, Mas?
J : Iya, saya diberi tempat tinggal. Walaupun harus bertumpuk-tumpuk dan berbagi tempat dengan tukang bakso lainnya.
T : Selama hampir 6 tahun menjadi tukang bakso, Mas, pernah tidak baksonya tidak laku?
J : Tidak laku sih kebetulan belum pernah, Alhamdullilah, Mbak. Tapi kalau tidak untung sih pernah, Mbak. Jadinya saya harus menombok dari keuntungan hari sebelumnya untuk mengembalikan modal.
T : Mas, pernah merasa menyesal menjadi tukang bakso?
J : Ya... gimana ya, Mbak. Saya bingung bilangnya. Mau dibilang menyesal juga nggak. Tidak menyesal juga iya. Ya, anggap saja memang sudah nasib saya jadi tukang bakso, Mbak.
T : Maaf, Mas. Ngomong-ngomong agamanya apa, Mas?
J : Alhamdullilah, sampai saat ini saya masih muslim sejati. Insyaalloh sampai saya mati nanti.
T : Karena hidup Mas yang ibaratnya serba kekurangan, Mas pernah merasa Tuhan tidak adil kepada Mas?
J : Tidak pernah. Menurut saya Tuhan menciptakan manusia itu semuanya baik adanya. Memang ini nasib yang diberikan Tuhan kepada saya dan saya hanya bisa mensyukurinya.
T : Kalau marah sama Tuhan, pernah, Mas?
J : Merasa Tuhan tidak adil saja saya tidak pernah, Mbak. Mana berani saya marah sama Tuhan. Wong saya ini cuma manusia biasa yang kecil di mata Alloh.
T : Dari agama Islam sendiri, adakah ajaran yang mengajarkan tentang sebuah pekerjaan yang sebaiknya dipilih oleh umatnya?
J : Saya kurang tahu persis bagaimana isi ayat di Al-Qur’an. Tetapi yang penting itu pekerjaannya halal, tidak menentang agama dan tidak merugikan orang lain. Saya rasa itu sah-sah saja.
T : Kalau ajaran tentang berusaha dan memaknai hidup, ada, Mas?
J : Katanya sih, cukup berusaha sekuat mungkin sambil berdoa kepada Alloh agar diberikan rejeki yang baik.
T : Kalau begitu, terima kasih ya, Mas. Ngomong-ngomong harga baksonya berapa, Mas?
J : Cukup Rp 5.000, Mbak. Makasih.


Refleksi kelompok :
Caca [XI IPS 1/3]

Setelah mewawancarai tukang baso tersebut saya menjadi berpikir kalau mencari pekerjaan itu tidak mudah. Apalagi kalau tidak didukung pendidikan yang memadai. Apalagi di Jakarta yang lapangan pekerjaannya semakin hari semakin sempit, semua orang berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan. Mas Sumardi yang pekerjaannya hanya sebagai tukang bakso, dan sangat berbeda dengan cita-citanya tetap tidak mengeluh walaupun hanya menjadi tukang bakso. Ia masih bersyukur bisa memiliki pekerjaan itu daripada tidak sama sekali.


Jeje [XI IPS 1/ 6]
Dari hasil tanya jawab dengan tukang bakso, saya mnyadari begitu banyak orang di luar sana yang kehidupannya sulit dan mereka berusaha untuk bertahan hidup dengan segala cara. Sedangkan saya yang masih tergantung dengan orang tua sering mengeluh kepada Tuhan. Saya menyadari kehidupan itu sangat sulit dari yang saya bayangkan, tanpa adanya usaha dan doa, sulit bertahan di kota Jakarta ini. Kita juga perlu berserah kepada Tuhan dan bersyukur terhadap apa yang sudah kita miliki, kelak Tuhan akan memberikan semua indah pada waktunya.


Yurika [XI IPS 1/ 29]
Dengan mewawancarai Mas Sumardi ini, saya menyadari bahwa hidup itu sedemikian berat dan susahnya. Saya kerap berpikir apa yang menjadi kekuatan dari dirinya yang kelihatan biasa saja. Ternyata saya tahu bahwa dengan menerima dan mencintai hidup yang diberikan Tuhan, sesulit apapun itu, kita dapat terus berusaha dan tidak menyerah. Sesulit apapun hidup itu, pasti Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang terbaik bagi umat yang terus percaya pada Tuhannya. Dan kita manusia, yang hanya seorang makhluk kecil di mata Tuhan, kata Mas Sumardi itu, hanyalah bisa terus berdoa dan berusaha sambil mengharapkan rejeki yang baik.
TERIMA KASIH