Saturday, April 26, 2008

foto-foto tsara dan amanda




Foto-foto (Debora Irene Christine)







Ibu, kok susah banget sih ngupload foto di sini!!!!!!!!!!! Saya udah berkali2 nyoba nggak bisa nih!!! Gimana dong????????? Kasih tahu e-mailnya ibu ajalah!!! Tolong, Bu!










Narasi (Debora Irene Christine)

NARASI

Bapak Hasanudin : Bekerja adalah Ibadah
Oleh : Debora Irene Christine (XI IPS 1 / 7)

Pada hari Jumat, 25 April 2008 yang lalu, saya berkesempatan untuk melakukan wawancara singkat dengan Bapak Hasanudin yang merupakan seorang pedagang siomay. Bapak Hasanudin yang telah berusia 40 tahun masih gesit dalam melayani pembeli yang ingin menikmati siomay olahannya.
Setiap harinya Bapak Hasanudin bangun sekitar pukul 5 di pagi hari untuk pergi ke pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat siomaynya. Setiap hari, Bapak Hasanudin mengayuh sepedanya untuk berdagang siomay di 6 komplek perumahan dengan penghasilan rata-rata perharinya adalah Rp 30.000,-.
Keluarga Bapak Hasanudin tinggal di desa, di Jawa Barat, sedangkan ia seorang diri mengontrak di daerah Jati Makmur, Bekasi. Istrinya berperan sebagai ibu rumah tangga yang telaten mengurus rumah dan anak-anaknya. Mereka memiliki 3 anak perempuan. Anak yang pertama telah berkeluarga, yang kedua sedang menempuh pendidikan di bangku kelas 1 Sekolah Dasar, sedangkan si bungsu masih berusia 1,5 tahun.
Penghasilan Bapak Hasanudin diakuinya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dan membiayai sekolah anak-anaknya.
“Sekolahnya kan di kampung. Nggak memerlukan biaya gede. Jadi, ya, cukuplah,” ujar Bapak Hasanudin.
Sebagai seorang pedagang siomay yang independen, Bapak Hasanudin tidak pernah menderita kerugian karena ia mengolah dan menjual sendiri siomaynya. Jadi, ia pula yang memutuskan berapa banyak siomay yang harus ia buat perhari.
“Ya, kalau merugi sih, nggak. Kita kan buat sendiri, jadi nggak ada sistem rugi. Masalahnya, dalam satu hari itu siomaynya habis atau nggak. Saya sih, jarang nggak habis. Karena saya kan nggak seperti orang yang sistemnya setoran. Kalau buat sendiri kan, tergantung maunya kita,” ujar Bapak Hasanudin menjelaskan.
Bapak Hasanudin hanya pernah menempuh pendidikan sampai dengan Sekolah Dasar. Hal ini yang menyebabkan ia memilih untuk bekerja sebagai pedagang siomay, karena merasa pendidikannya tidak cukup tinggi untuk memilih pekerjaan lain. Ketika ditanya mengapa memilih profesi sebagai pedagang siomay dibanding pedagang bakso, bubur ayam, atau nasi goreng, Bapak Hasanudin menjawab, “Yah, mungkin sudah ini bagiannya. Saya percaya kalau saya punya kemampuan lebih baik untuk ngolah siomay dibanding dagangan lainnya.”
Bapak Hasanudin yang beragama Islam mengatakan bahwa salah satu hal yang mendorongnya untuk memilih bekerja dibandingkan hanya berpangku tangan pada orang lain saja adalah ajaran agama Islam. Menurutnya, dalam agama Islam diajarkan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah, sedangkan duduk berpangku tangan dan tidak mau berusaha adalah tindakan yang dapat mengurangi iman. Beliau juga mengatakan bahwa dengan berdagang ia membantu orang lain mencukupi kebutuhannya dan orang tersebut juga membantunya untuk mendapat penghasilan. Jadi, terdapat sistem timbal balik yang terjadi antara dirinya dengan pembeli. Dengan demikian, Bapak Hasanudin mengakui bahwa dalam bekerja dibutuhkan campur tangan atau kerja sama dengan orang lain.
“Kita beramal, tapi orang itu membeli. Jadi, ada timbal balik. Orang butuh, kita jual. Tapi, kita juga dapat imbalan uang. Begitu,” ucap Bapak Hasanudin.
Bapak Hasanudin juga merasa cukup bangga bahwa ia memiliki profesi yang dipandang halal menurut agamanya dan berguna untuk menafkahi keluarganya walaupun profesinya sebagai pedagang siomay tidaklah sehebat profesi lain seperti dokter, pengusaha atau pejabat. Beliau menegaskan bahwa selama usianya masih cukup produktif untuk bekerja sebagai pedagang siomay, ia akan terus menggeluti profesinya tersebut. Jika ia merasa dirinya sudah tidak produktif lagi, ia mempercayakan pekerjaannya itu kepada anaknya yang pertama yang saat ini juga berdagang.
Kehadiran Tuhan dalam pekerjaannya dirasakan Bapak Hasanudin pada saat beliau mengalami keengganan atau kemalasan untuk mengayuh sepeda dan pergi berdagang siomay. Ia terkadang merasa diingatkan bahwa istri dan anak-anaknya di kampung membutuhkan biaya hidup, dan sudah merupakan kewajibannya sebagai kepala keluarga untuk mencukupi hal tersebut. Bapak Hasanudin juga mengatakan bahwa dengan lebih seringnya siomaynya habis terjual dibanding tidak habis terjual menunjukkan bahwa Tuhan menghargai jerih payahnya dalam bekerja.
Dengan adanya agama yang menjadi pegangan dan pedoman hidupnya, Bapak Hasanudin mampu menghadapi berbagai rintangan dalam pekerjaannya.
“Ya, karena ada agama, kalau ada cobaan kita punya pegangan, mendapat kesabaran, ‘Oh, mungkin saya lagi diuji sama Tuhan’, begitu,” ujar Bapak Hasanudin.
“Kan, kadang-kadang kalau lagi dagang tiba hujan turun deras atau angin kenceng, jadi harus berhenti dulu, berteduh. Kalau kayak gitu kan, waktu dagangnya jadi berkurang, orang juga malas keluar rumah. Jadinya, dagangannya nggak habis. Kalau kayak gitu ya, harus dianggap sebagai ujian dari Tuhan, harus sabar. Namanya juga kerja, cari uang, mana ada yang gampang,” kata Bapak Hasanudin lagi.
Karena jarang mendapat penghasilan yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Bapak Hasanudin biasanya lebih memilih untuk memberikan sumbangan ke dalam kotak-kotak sumbangan yang diletakkan di jalan dibanding memberikan zakat.
”Pengennya sih, kasih zakat kalau penghasilannya lebih dari cukup. Karena sebenarnya memberi zakat itu kan wajib kalau di aturan Muslim. Tapi, karena penghasilannya pas-pasan, ya saya hanya nyumbang ke kotak yang ada di jalan itu,” ucap Bapak Hasanudin.
Demikianlah wawancara saya dengan Bapak Hasanudin berakhir. Dengan semangat, beliau kembali mengayuh sepedanya untuk melanjutkan perjuangan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Refleksi Pribadi

REFLEKSI PRIBADI
Oleh : Debora Irene Christine (XI IPS 1)

Kalimat “bekerja merupakan salah satu bagian dari ibadah” yang saya dengar dari Bapak Hasanudin sewaktu saya melakukan wawancara dengan beliau sempat membuat saya berpikir sejenak, benarkah bekerja adalah bagian dari ibadah?
Namun, saya teringat kembali kutipan alkitab dalam buku pelajaran Religiositas saya yang mengatakan, “Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu.” (Mazmur 128 : 2). Hal ini membuat saya setuju dengan ungkapan yang dinyatakan oleh Bapak Hasanudin bahwa bekerja adalah ibadah.
Sebelumnya, saya hanya menghayati kegiatan bekerja sebagai kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan memperoleh status dalam masyarakat. Karena seperti yang kita tahu bahwa dengan menjadi pengangguran kita akan disebut sebagai sampah masyarakat.
Namun, dengan ungkapan yang dikatakan oleh Bapak Hasanudin saya merasa seperti diingatkan akan arti dan tujuan lain dari bekerja, yaitu untuk melayani. Mengapa melayani?
Dengan bekerja, kita melakukan sesuatu untuk orang lain. Untuk itu, kita mendapat imbalan berupa penghasilan. Melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain merupakan pengertian dari melayani. Singkatnya, dengan bekerja kita melayani atau membantu orang lain untuk mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Atas jasa kita tersebut, kita mendapat penghargaan berupa penghasilan yang dapat kita gunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup kita sendiri. Jadi, seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Hasanudin, bahwa terjadi hubungan timbal balik dalam kegiatan bekerja.
Layaknya Bapak Hasanudin yang berlapang dada mengemban tugas yang harus ia jalankan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, kita pun harus berusaha untuk menghargai pekerjaan yang kita miliki, sekalipun pekerjaan itu tidak menempatkan kita pada status sosial yang tinggi. Namun, selama kita menjalankannya dengan ikhlas dan bersemangat, niscaya pekerjaan apapun itu akan menjadi berkat bagi orang-orang di sekeliling kita.
Di samping itu, kita juga hendaknya tidak berpangku tangan pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup kita selama kita masih mampu untuk melakukannya sendiri. “Janganlah malas! Karena malas pangkal bodoh, dan bodoh pangkal miskin!” sepertinya ungkapan yang tepat untuk menyampaikan pentingnya bekerja keras. Selain itu, dengan bekerja kita akan merasakan kebanggaan tersendiri bahwa kita mampu dan mau berjuang mencukupi kebutuhan kita.
Kita juga harus menyadari kehadiran Tuhan dalam pekerjaan yang kita lakukan, karena sesungguhnya ia selalu ada untuk membantu kita di setiap keadaan. Ia memberikan apa yang layak kita terima, sesuai dengan usaha yang kita berikan, pada saat yang paling tepat. Jadi, selain bekerja keras kita juga sebaiknya selalu berdoa dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam perlindungan Tuhan demi kelancaran pekerjaan yang kita lakukan.

Friday, April 25, 2008

tugas wawancara(Herin-XI IPS1/16 & Hilda-XI IPS1/17)




Masalah Menjadi Berkat

Pada suatu hari yang agak berawan, kami berdua berjalan menuju suatu rumah di kawasan Jakarta barat. Ketika sampai di depan rumah, kami langsung disambut hangat oleh seorang wanita yang berparas lembut yang tersenyum hangat saat bertemu kami.
Wanita itu bernama Vinarti. Ia biasa dipanggil Vivin. Wanita ini bekerja sebagai baby sitter, yang tugasnya mengurus bayi-bayi mungil nan lucu. Seperti yang kita tahu, pekerjaan baby sitter bukanlah suatu pekerjaan yang tetap, karena setelah bayi tersebut sudah mulai besar, ia akan tidak dibutuhkan lagi. Mungkin yang dapat dilakukan, menjadi baby sitter untuk bayi yang lain ataupun beralih pekerjaan dengan mengurus manula.
Wanita yang berkelahiran Pacitan, tanggal 13 Januari 1970 ini pada awalnya bercita-cita menjadi seorang perawat Rumah Sakit. Namun, karena situasi dan kondisi keluarganya yang kurang mampu maka iapun mengurungkan niatnya untuk menjadi perawat. Akhirnya, ia pun mengambil kursus untuk menjadi baby sitter yang memakan waktu selama 3 bulan dengan biaya yang tidak terlalu banyak. Walaupun biayanya tidak terlalu banyak, namun bagi keluarga Ibu Vivin biaya itu sudah termasuk biaya yang cukup memberatkan keluarganya.
Ibu Vivin sendiri mengaku senang melakukan pekerjaan menjadi seorang pengurus bayi atau manula, karena ini merupakan hobbynya. Sejak kecil ia memang pandai mengurus anak-anak dan orang sakit, juga orang tua (manula). Dengan pekerjaan yang digelutinya saat ini, ia mendapatkan banyak pengalaman yang berharga dalam hidup. Banyak pengalaman yang ia syukuri selama bekerja menjadi baby sitter, antara lain pergi ke luar kota, naik pesawat, bertemu artis, dan lain-lain. Pengalaman- pengalaman tersebut mungkin tidak akan pernah ia alami jika tidak bekerja menjadi seorang pengasuh. Beliau juga pernah menjadi baby sitter seorang artis yaitu, Nur Abni Oktavia.
Di balik kesenangannya itu, tentu ia juga seringkali mendapat pengalaman buruk. Antara lain ketika mendapat majikan yang cerewet, mengasuh bayi yang susah untuk diasuh (seperti, bayi yang rewel), mengurus jompo yang sulit diatur ataupun jompo yang cerewet, dan lain-lain. Dari pengalaman Ibu Vivin, ternyata mengurus jompo itu lebih susah dibandingkan bayi.
Ibu Vivin sudah bekerja menjadi baby sitter dan mengurus jompo sekitar sepuluh tahun. Tepatnya sejak tahun 1995. “Setelah saya selesai kursus, saya langsung bekerja. Karena saya tidak ingin membebani orang tua saya”, begitu ujarnya. Sungguh mulia tindakannya itu. Tentu Ibu Suratmi dan Bapak Sudirman bangga memiliki anak seperti ibu Vivin ini.
Dari pekerjaannya ini, ibu Vivin bisa mendapat penghasilan sebesar Rp 800.000,00 sampai Rp 1.300.000,00. Dari gaji yang didapatkannya tersebut, ia gunakan untuk membiayai kehidupan 2 orang anaknya, yang masih berumur 10 dan 5 tahun serta ibunya. Maklum saja, karena sebuah kecelakaan besar telah merenggut nyawa suaminya. Almarhum suaminya meninggalkan Ibu Vivin dan 2 orang anaknya itu pada tahun 2004. Sejak saat itu, ibu Vivin menjadi seorang single parent yang tangguh dan penuh semangat mencari uang untuk menafkahi anak-anaknya. Setiap bulan ia mengirimkan sebagian dari penghasilan yang didapatkannya ke ibunya serta anak-anaknya. Suster Win, begitu biasa ia dipanggil,juga selalu mengunjungi anak-anaknya ketika ia mendapat cuti.
Pekerjaan ibu Vivin yang dapat dikatakan tidak kenal waktu, selama 24 jam, tentunya sangat menguras banyak energinya. Maka itu, bila ia mendapatkan waktu cuti, ia menggunakan waktu itu untuk beristirahat. Pekerjaannya ini menuntut ia harus selalu siap 24 jam, karena ia harus bangun di tengah malam bila bayi yang diurusnya menangis ataupun jompo yang dirawatnya rewel. Walaupun banyak tuntutan dalam bekerja, ia tetap rajin beribadah. Beliau merupakan seorang Muslimah yang taat. Ia jarang sekali melewatkan waktu untuk shalat kecuali bila dalam kondisi yang benar- benar tidak memungkinkan, mengingat pekerjaannya yang harus siap sleama 24 jam. Selama ia menjadi seorang pengasuh,ia selalu mendapat majikan yang cukup baik dan juga ia tidak pernah mendapat majikan yang melarangnya untuk beribadah. Karena itulah ia bersyukur pada Allah karena mendapat majikan yang baik dan menghormati agama yang dianutnya.
Dari kisah ibu Vivin, kita menjadi mengatahui kalau ternyata ibu Vivin selalu mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan padanya. Tapi, ia tidak hanya berpasarah saja, namun ia juga ikut mengembangkan apa yang Tuhan berikan padanya. Dalam hal ini, ibu Vivin merawat dan mengembangkan bayi dan jompo yang merupakan karunia dari Tuhan. Selain memelihara ciptaan Tuhan Ibu Vivin juga membangun harapan agar hidupnya dan hidup orang lain sejahtera. Ibu Vivin percaya bahwa Tuhan selalu menuntun arahnya termasuk dalam bekerja, karena itu ia juga percaya bahwa melakukan pekeraan ini sama dengan bekerja dengan Tuhan.
Dari wawancara kami dengan seorang janda tangguh yang berprofesi sebagai pengasuh ini, kami mendapatkan suatu nilai hidup dari Ibu Vivin, yaitu “Jangan pernah menyerah saat kita mendapat suatu masalah. Tataplah ke depan dan halaulah masalah itu menjadi berkat”

***
Herinda Kusuma-XI IPS 1 / 16
Hilda Anita-XI IPS 1 / 17


Foto-foto


Aktivitasnya sebagai baby sitter




Herin-Suster Win& bayi yang diasuh-Hilda



REFLEKSI PRIBADI (Herinda Kusuma-XI IPS 1/ 16)
Setelah melakukan wawancara dengan Ibu Vivin yang berprofesi menjadi baby sitter, saya mendapatkan banyak hal baru mengenai kehidupan. Dari bagaimana caranya memenuhi kebutuhan sehari- hari sampai bagaimana kita memaknai hidup itu sendiri. Walaupun sebenarnya hal tersebut sudah ditanamkan dalam diri saya semenjak saya kecil oleh kedua orang tua saya, tetapi saya belum pernah mengalami hidup yang serba berkekurangan seperti hal nya orang banyak yang kurang beruntung sehingga yang saya ketahui hanya sekedar teorinya saja.
Maka melalui wawancara ini, saya dapat mengetahui lebih nyata akan perjuangan orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjalani kehidupannya. Untuk memenuhi seluruh kebutuhannya, manusia harus bekerja agar mendapatkan uang. Namun ternyata, bekerja bukanlah semata-mata untuk mendapatkan uang atau kenikmatan saja, tetapi bekerja merupakan salah satu bentuk ungkapan syukur kita kepada Tuhan atas semua yang telah diberikan-Nya kepada kita. Dengan bekerja kita bisa belajar melatih kejujuran, tanggung jawab, rasa mencintai sesama, menghargai sesama, menghormati sesama, dan banyak nilai kehidupan yang lain. Pengalaman yang kita dapatkan dari bekerja ternyata dapat membuat pribadi kita menjadi lebih dewasa.
Selain itu, saya juga menjadi sadar bahwa semua yang kita lakukan, khususnya dalam melakukan suatu pekerjaan, tidak bisa lepas dari kuasa Tuhan. Saat kita bekerja pun berarti kita sedang berkarya bersama Tuhan. Jadi, sebenarnya bekerja itu mempunyai banyak arti di dalamnya.




Refleksi (Hilda Anita-xi ips1/17)
Saat saya pertama kali datang ke rumah tempat kami wawancara, suasana hangat dan ramah muncul dari ibu Vivin. Sehingga membuat saya menjadi kagum dengan keramahannya. Selain itu, kegigihannya untuk mengahadapi masalah juga sangat menginspirasi saya. Ternyata, masalah itu harus dihadapi sehingga menjadi sebuah berkat. Bukannnya dihindari seperti yang selama ini saya lakukan.
Dengan bekerja, kitapun menyadari kalau kita sangat membutuhkan Tuhan di samping kita. Dengan bantuan Tuhan, maka segala halanganpun akan mudah telewati. Sehingga saya menjadi sadar kalau bekerja itu berarti semakin dekat hubungan kita Tuhan.
Selain mendapatkan uang dari bekerja, ternyata bekerjapun bisa menghasilkan memupuk pandangan kejujuran, kesadaran akan kewajiban, dan cinta pada sesama. Dari sini, saya menjadi memahami akan arti dari bekerja yang tidak hanya mencari uang.
Dengan bekerja, saya menjadi mendapat kemampuan dan pengalaman baru. Dan itu sangat berarti bagi kehidupan saya. Karena itu, bekerja itu juga sangat berarti bagi hidup kita.

tugas religio

Ahmad, Penjual Minuman


Nama mas siapa?

Ahmad.

Nama lengkapnya?

Ahmad Nasir.

Agama mas apa ya?

Islam.

Tempat tanggal lahir mas?

Madura, 21 Mei 1985

Jadi mas asli Madura?

Iya.

Status mas apa ya?

Bujangan.

Pendidikan terakhir mas?

SMP.

Mas berapa bersaudara?

5 bersaudara. Semuanya di Madura.

Sekarang kita mau nanya tentang kehidupan dan pekerjaan mas ya.

Sebenarnya mas ke Jakarta atas keinginan orang lain atau keinginan mas sendiri?

Keinginan saya sendiri.

Tahun berapa mas pertama kali ke Jakarta?

Tahun 2000 saat umur saya 17 tahun.

Mengapa mas ingin ke Jakarta?

Ingin merubah nasib menjadi lebih baik lagi.

Mas tinggal di Jakarta sama siapa?

Sama paman di daerah Kemayoran.

Yang menawarkan pekerjaan ini ke mas siapa?

Paman saya.

Bisa ceritakan sedikit gak mas perjalanan mas dari Madura kesini bagaimana?

Jadi, saya memang berniat ke Jakarta, lalu paman saya menelpon bahwa ada pekerjaan untuk saya. Maka berangkatlah saya ke Jakarta.

Ini merupakan pekerjaan pertama mas?

Iya.

Mas kenapa memilih pekerjaan ini?

Karena yang ada hanya ini saja. Ini pekerjaan diwariskan dari paman saya.

Paman mas dulu yang berjualan disini ya?

Iya. Saya tinggal meneruskan saja.

Ingin mencari pekerjaan lain gak?

Ingin. Tapi belum ada.

Cita-cita mas sebelum bekerja seperti ini apa mas?

Ingin menjadi pegawai negeri sipil.

Suka duka mas selama berjualan apa saja?

Sukanya kalo lagi banyak yang beli. Kalo dukanya pas lagi dikejar Kamtib.

Mas, kalo boleh tau, pendapatan mas sehari-hari berapa?

Kira-kira 30 sampai 40 ribu.

Pendapatan terendah dan pendapatan tertinggi yang pernah mas dapet berapa?

Kalau paling rendah 20 ribu. Dan paling tinggi pernah sampai 80 ribu.


Cukup gak mas untuk kehidupan sehari-hari?

Kalo untuk saya sekarang ini yang masih bujang, pendapatan tersebut cukup.

Pendapatan tersebut bisa cukup karena mas menghemat atau memang benar-benar cukup untuk kebutuhan sehari-hari?

Saya hemat-hemat.

Pernah gak mas ada pembeli yang resek?

Oh, gak ada. Kan yang beli cewek semua. Yang resek itu kamtib. (Mas ahmad seringkali dikejar oleh Kamtib yang tidak memperbolehkannya berjualan di trotoar depan SMA Santa Ursula)

Sekarang usaha mas lagi maju gak?

Belakangan ini penghasilannya cenderung turun. Gak tau kenapa.

Harapan mas untuk kedepannya apa?

Harapan saya supaya bisa jualan di dalam sekolah (lapangan parkir) supaya gak dikejar kamtib lagi.

Biodata

Nama lengkap : Ahmad Nasir

Nama Panggilan : Ahmad

TTL : Madura, 21 Mei

Agama : Islam

Status : Bujangan







Refleksi Pribadi

Saya lihat dunia ini seperti tidak adil. Banyak masyarakat di bawah umur seperti anak-anak sudah harus mencari nafkah dengan mengamen atau berjualan. Padahal seharusnya anak seumuran mereka kewajibannya hanya satu yaitu belajar.

Masayrakat banyak dating ke Jakarta karena menganggap akan menjadi orang sukses. Tapi kenyataannya kehidupan di Jakarta sangan susah. Mencari pekerjaan di kota besar seperti Jakarta ini tidak mudah. Orang butuh bekerja keras dan banting tulang. Ada sebagian orang yang kurang beruntung. Bila tidak mempunyai skill maka orang tersebut tidak akan sukses.

Tapi saya dapat mengambil pesan-pesan dari orang-orang yang berpenghasilan kecil. Saya bisa lihat kegigihannya untuk terus dapat menempuh hidup di Jakarta walaupun penghasilan yang mereka dapatkan sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak mudah menyerah.

Seperti Mas Ahmad penjual minuman di SMA Santa Ursula. Dia berasal dari sebuah desa di madura. Mulai usia 17 tahun ia merantau nasib ke Jakarta demi mendapat kehidupan yang lebih baik dan untul mengejar cita-citanya menjadi pegawai negeri sipil. Tapi akhirnya dia hanya menjadi penjual minuman. Dia bekerja dengan keras sebagai penjual minuman. tapi hasil yang dia dapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itupun sudah dia hemat-hemat pemakaiannya.

Saya sadar, hanya satu kunci sukses agar bisa terus bertahan. Yaitu tidak mudah menyerah dan terus berusaha.

Erika Prabawati

XI IPS 1 / 11




Refleksi Religiositas

Hari Jumat, 18 April 2008 yang lalu, saya dan teman sekelompok saya, Erica, mewawancarai Mas Ahmad Nasir. Mas Ahmad sudah tidak asing lagi bagi kami. Dia adalah orang yang paling dicari-cari oleh siswi Santa Ursula (dan supir-supir mereka pula) jika dahaga di siang hari yang panas menuntut untuk diredakan. Ya, Mas Ahmad adalah penjual minuman ringan di depan Sekolah Santa Ursula. Berbagai minuman, dari air mineral hingga minuman bersoda tersedia lengkap di gerobak sepedanya.

Dari hasil wawancara dengannya, saya mengetahui bahwa ia memulai perjuangannya di Jakarta sejak berumur 17 tahun. Usianya pada saat itu (tahun 2000) seumuran dengan saya sekarang. Sulit dibayangkan rasanya, saya yang berumur hampir 17 tahun masih enak-enak hidup dari penghasilan orangtua, sedangkan mas Ahmad sudah bersusah payah merantau dari Madura ke Jakarta untuk mencoba memperoleh kehidupan yang lebih baik. Itupun dengan kehendaknya sendiri, tidak ada yang menyuruh.

Perjuangannya cukup menggugah hati. Saya masih ingat, beberapa bulan yang lalu, mas Ahmad sempat tidak berjualan selama seminggu lebih. Kabarnya, Satpol PP, atau lebih dikenal dengan KAMTIB, sedang melakukan razia pedagang kakilima. Daripada barang dagangannya disita, mas Ahmad memilih untuk tidak berjualan. Bayangkan kerugian yang dideritanya jika ia kena razia. Dengan tidak berjualan seminggu lebih pun penghasilannya berkurang drastis, apalagi seluruh barang dagangannya disita? Maka dari itu dia berharap agar dia bisa berjualan di dalam sekolah.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, sulit memposisikan diri saya dengan situasi yang dia alami. Saya tentu sudah merasa putus asa menghadapi kasus seperti di atas. Tetapi mas Ahmad tidak, buktinya dia masih setia berjualan di depan sekolah sampai sekarang.

Tentu bukan cita-citanya untuk bekerja sebagai penjual minuman. Ia sendiri bercita-cita menjadi pegawai negeri. Mendengar ia berkata tanpa ragu tentang cita-citanya, saya merasa sedikit ditegur. Saya saja, yang nasibnya bisa dikatakan lebih baik daripadanya, sebenarnya belum merencanakan masa depan saya. Mungkin sudah ada, namun belum jelas arahnya kemana.

Dengan mengetahui kisah hidup mas Ahmad, saya menjadi terinspirasi untuk berusaha dengan dedikasi yang lebih. Tentunya tidak berusaha sebagai pedagang minuman, tetapi sebagai pelajar. Saya harus lebih semangat mengejar masa depan saya. Dengan adanya kemudahan-kemudahan yang tersedia, seharusnya saya lebih fokus menggapai cita-cita, bukannya membuat cita-cita saya menjadi lebih ‘kabur’ dengan bersantai dan bermanja-manja. Jujur saja, saya merasa belum maksimal dalam berjuang dalam pelajaran saya. Masih banyak hal yang masih dalam kendali saya yang masih dapat diperjuangkan agar menjadi lebih baik, namun tidak saya perjuangkan secara maksimal. Contohnya, daripada belajar saya lebih memilih nonton televisi, atau saya cenderung menunda-nunda pekerjaan sehingga ujung-ujungnya pekerjaan tersebut tidak selesai. Hal-hal ini masih dapat diperjuangkan untuk diubah bukan?

Demi kebaikan saya sendiri seharusnya saya sadar untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk saya seperti di atas. Banyak sekali orang-orang yang membayangkan dapat hidup lebih baik, seperti hidup yang saya jalani sekarang. Tanyakan saja kepada mas Ahmad.

Bernadetha Indreswari Wisnuputri

XI IPS 1 / 04


XI IPS 1

Indi (4)

Erika (11)