NARASI
Bapak Hasanudin : Bekerja adalah Ibadah
Oleh : Debora Irene Christine (XI IPS 1 / 7)
Pada hari Jumat, 25 April 2008 yang lalu, saya berkesempatan untuk melakukan wawancara singkat dengan Bapak Hasanudin yang merupakan seorang pedagang siomay. Bapak Hasanudin yang telah berusia 40 tahun masih gesit dalam melayani pembeli yang ingin menikmati siomay olahannya.
Setiap harinya Bapak Hasanudin bangun sekitar pukul 5 di pagi hari untuk pergi ke pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat siomaynya. Setiap hari, Bapak Hasanudin mengayuh sepedanya untuk berdagang siomay di 6 komplek perumahan dengan penghasilan rata-rata perharinya adalah Rp 30.000,-.
Keluarga Bapak Hasanudin tinggal di desa, di Jawa Barat, sedangkan ia seorang diri mengontrak di daerah Jati Makmur, Bekasi. Istrinya berperan sebagai ibu rumah tangga yang telaten mengurus rumah dan anak-anaknya. Mereka memiliki 3 anak perempuan. Anak yang pertama telah berkeluarga, yang kedua sedang menempuh pendidikan di bangku kelas 1 Sekolah Dasar, sedangkan si bungsu masih berusia 1,5 tahun.
Penghasilan Bapak Hasanudin diakuinya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dan membiayai sekolah anak-anaknya.
“Sekolahnya kan di kampung. Nggak memerlukan biaya gede. Jadi, ya, cukuplah,” ujar Bapak Hasanudin.
Sebagai seorang pedagang siomay yang independen, Bapak Hasanudin tidak pernah menderita kerugian karena ia mengolah dan menjual sendiri siomaynya. Jadi, ia pula yang memutuskan berapa banyak siomay yang harus ia buat perhari.
“Ya, kalau merugi sih, nggak. Kita kan buat sendiri, jadi nggak ada sistem rugi. Masalahnya, dalam satu hari itu siomaynya habis atau nggak. Saya sih, jarang nggak habis. Karena saya kan nggak seperti orang yang sistemnya setoran. Kalau buat sendiri kan, tergantung maunya kita,” ujar Bapak Hasanudin menjelaskan.
Bapak Hasanudin hanya pernah menempuh pendidikan sampai dengan Sekolah Dasar. Hal ini yang menyebabkan ia memilih untuk bekerja sebagai pedagang siomay, karena merasa pendidikannya tidak cukup tinggi untuk memilih pekerjaan lain. Ketika ditanya mengapa memilih profesi sebagai pedagang siomay dibanding pedagang bakso, bubur ayam, atau nasi goreng, Bapak Hasanudin menjawab, “Yah, mungkin sudah ini bagiannya. Saya percaya kalau saya punya kemampuan lebih baik untuk ngolah siomay dibanding dagangan lainnya.”
Bapak Hasanudin yang beragama Islam mengatakan bahwa salah satu hal yang mendorongnya untuk memilih bekerja dibandingkan hanya berpangku tangan pada orang lain saja adalah ajaran agama Islam. Menurutnya, dalam agama Islam diajarkan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah, sedangkan duduk berpangku tangan dan tidak mau berusaha adalah tindakan yang dapat mengurangi iman. Beliau juga mengatakan bahwa dengan berdagang ia membantu orang lain mencukupi kebutuhannya dan orang tersebut juga membantunya untuk mendapat penghasilan. Jadi, terdapat sistem timbal balik yang terjadi antara dirinya dengan pembeli. Dengan demikian, Bapak Hasanudin mengakui bahwa dalam bekerja dibutuhkan campur tangan atau kerja sama dengan orang lain.
“Kita beramal, tapi orang itu membeli. Jadi, ada timbal balik. Orang butuh, kita jual. Tapi, kita juga dapat imbalan uang. Begitu,” ucap Bapak Hasanudin.
Bapak Hasanudin juga merasa cukup bangga bahwa ia memiliki profesi yang dipandang halal menurut agamanya dan berguna untuk menafkahi keluarganya walaupun profesinya sebagai pedagang siomay tidaklah sehebat profesi lain seperti dokter, pengusaha atau pejabat. Beliau menegaskan bahwa selama usianya masih cukup produktif untuk bekerja sebagai pedagang siomay, ia akan terus menggeluti profesinya tersebut. Jika ia merasa dirinya sudah tidak produktif lagi, ia mempercayakan pekerjaannya itu kepada anaknya yang pertama yang saat ini juga berdagang.
Kehadiran Tuhan dalam pekerjaannya dirasakan Bapak Hasanudin pada saat beliau mengalami keengganan atau kemalasan untuk mengayuh sepeda dan pergi berdagang siomay. Ia terkadang merasa diingatkan bahwa istri dan anak-anaknya di kampung membutuhkan biaya hidup, dan sudah merupakan kewajibannya sebagai kepala keluarga untuk mencukupi hal tersebut. Bapak Hasanudin juga mengatakan bahwa dengan lebih seringnya siomaynya habis terjual dibanding tidak habis terjual menunjukkan bahwa Tuhan menghargai jerih payahnya dalam bekerja.
Dengan adanya agama yang menjadi pegangan dan pedoman hidupnya, Bapak Hasanudin mampu menghadapi berbagai rintangan dalam pekerjaannya.
“Ya, karena ada agama, kalau ada cobaan kita punya pegangan, mendapat kesabaran, ‘Oh, mungkin saya lagi diuji sama Tuhan’, begitu,” ujar Bapak Hasanudin.
“Kan, kadang-kadang kalau lagi dagang tiba hujan turun deras atau angin kenceng, jadi harus berhenti dulu, berteduh. Kalau kayak gitu kan, waktu dagangnya jadi berkurang, orang juga malas keluar rumah. Jadinya, dagangannya nggak habis. Kalau kayak gitu ya, harus dianggap sebagai ujian dari Tuhan, harus sabar. Namanya juga kerja, cari uang, mana ada yang gampang,” kata Bapak Hasanudin lagi.
Karena jarang mendapat penghasilan yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Bapak Hasanudin biasanya lebih memilih untuk memberikan sumbangan ke dalam kotak-kotak sumbangan yang diletakkan di jalan dibanding memberikan zakat.
”Pengennya sih, kasih zakat kalau penghasilannya lebih dari cukup. Karena sebenarnya memberi zakat itu kan wajib kalau di aturan Muslim. Tapi, karena penghasilannya pas-pasan, ya saya hanya nyumbang ke kotak yang ada di jalan itu,” ucap Bapak Hasanudin.
Demikianlah wawancara saya dengan Bapak Hasanudin berakhir. Dengan semangat, beliau kembali mengayuh sepedanya untuk melanjutkan perjuangan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Saturday, April 26, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment