Friday, April 25, 2008

“Berkah dibalik Gerobak Bakso”



“Berkah dibalik Gerobak Bakso”

Suatu siang di hari Minggu, 20 April 2008, kelompok kami yang terdiri dari Caca, Jeje, dan Yurika, kelas XI IPS 1, sedang berkumpul di rumah Caca, Jl. Janur Kuning 3 untuk berdiskusi soal tugas religiositas yang akan kami buat. Tiba-tiba, perut Jeje berbunyi, tanda ia sedang lapar. Entah mendapat ilham dari mana, seorang tukang bakso lewat di depan rumah Caca. ”Tok... tok... tokk... BAKSSSSOOOO!!!” Dan seketika Jeje langsung lari keluar dan memanggil si tukang bakso sambil melambaikan tangan. ”Bang, bakso!” panggil Jeje. Ting! Lalu kami serentak memutuskan untuk mewawancarai tukang bakso tersebut seraya mencicipi nikmat bakso di siang hari. Berikut adalah percakapan kami dengan tukang bakso yang ternyata bernama SUMARDI.

Tanya (T) : Mas, umurnya berapa?
Jawab (J) : Saya lahir tahun 1983, Mbak. Jadi umur saya berapa, Mbak?
T : Oh, kira-kira 25 tahun, Mas. Asal mana, Mas?
J : Solo, Mbak.
T : Sejak kapan tinggal di Jakarta, Mas?
J : Sejak 2002.
T : Langsung jadi tukang bakso, Mas?
J : Ya iya toh, Mbak.
T : Ngomong-ngomong sudah berkeluarga, Mas?
J : Kebetulan... masih perjaka ting - ting!
T : Orang tua masih ada, Mas?
J : Masih komplit, Alhamdullilah. Sekarang masih sibuk di kampung, membajak sawah.
T : Kalau saudara?
J : Ada 1 kakak, tetapi sudah berkeluarga.
T : Oh... terus yang mengusulkan supaya jadi tukang bakso siapa, Mas?
J : Kakak saya.
T : Modal usaha berjualan bakso ini dari siapa, Mas?
J : Dari uang saya yang sudah saya tabung bertahun-tahun. Itu pun masih kurang banyak, jadi harus minta tambahan dari kakak dan orang tua.
T : Kenapa memilih jadi tukang bakso, Mas? Kan masih ada pekerjaan lain.
J : Iya sih, Mbak. Tetapi berhubung saya cuma lulusan S2, SD dan SMP , ya mau kerja apa lagi... Cuma ini yang bisa saya lakukan sekarang.
T : Sebenarnya, cita-citanya apa, Mas?
J : Seperti orang kampung lainnya, pastinya ingin menjadi pengusaha sukses dan kaya.
T : Memangnya tidak ingin menjadi petani juga dengan meneruskan sawah keluarga?
J : Tidak, Mbak. Saya inginnya menjadi lebih sukses daripada orang tua saya. Tapi toh pada akhirnya saya masih sering meminta bantuan mereka, terutama dari segi materi. Rasanya malu, Mbak.
T : Maaf, Mas, kalau boleh tanya, kira-kira penghasilan per hari berapa?
J : Ya, syukur-syukur dapat Rp 20.000 sampai Rp 25.000 sehari.
T : Hah? Memangnya kerjanya dimulai dari jam berapa, Mas?
J : Jam 12 siang sampai jam 11 malam. Itu pun syukur-syukur bisa habis, Mbak.
T : Mas, rute berdagang bakso dari mana sampai mana?
J : Ya, sekitar – sekitar sini saja, Mbak. Cuma dari Janur Hijau, Janur Kuning, dan Pelepah.
T : Dengan penghasilan yang sebegitu kecilnya, apakah kebutuhan bisa terpenuhi seluruhnya, Mas?
J : Tergantung, Mbak. Kadang-kadang lebih, kadang pas-pasan buat makan, kadang kurang, bahkan harus minta sama orang tua di kampung untuk menambahkan modal. Apalagi sekarang di mana-mana harga terus naik. Jadinya saya harus pintar-pintar memikirkan bagaimana caranya supaya tetap untung, minimal sampai modalnya tertutup, Mbak.
T : Memangnya modal untuk membuat bakso ini berapa, Mas?
J : Wah, tidak tentu, Mbak. Tergantung berapa jumlah daging dan bahan-bahan lainnya yang saya pakai. Apalagi sekarang di mana-mana harga pada naik. Modal yang pasti sih, cuma sewa gerobak dan alat-alat memasaknya seharga 14 ribu sehari. Tapi untungnya saya dapat bonus tempat tidur.
T : Tempat tidur? Maksudnya, Mas?
J : Iya, saya diberi tempat tinggal. Walaupun harus bertumpuk-tumpuk dan berbagi tempat dengan tukang bakso lainnya.
T : Selama hampir 6 tahun menjadi tukang bakso, Mas, pernah tidak baksonya tidak laku?
J : Tidak laku sih kebetulan belum pernah, Alhamdullilah, Mbak. Tapi kalau tidak untung sih pernah, Mbak. Jadinya saya harus menombok dari keuntungan hari sebelumnya untuk mengembalikan modal.
T : Mas, pernah merasa menyesal menjadi tukang bakso?
J : Ya... gimana ya, Mbak. Saya bingung bilangnya. Mau dibilang menyesal juga nggak. Tidak menyesal juga iya. Ya, anggap saja memang sudah nasib saya jadi tukang bakso, Mbak.
T : Maaf, Mas. Ngomong-ngomong agamanya apa, Mas?
J : Alhamdullilah, sampai saat ini saya masih muslim sejati. Insyaalloh sampai saya mati nanti.
T : Karena hidup Mas yang ibaratnya serba kekurangan, Mas pernah merasa Tuhan tidak adil kepada Mas?
J : Tidak pernah. Menurut saya Tuhan menciptakan manusia itu semuanya baik adanya. Memang ini nasib yang diberikan Tuhan kepada saya dan saya hanya bisa mensyukurinya.
T : Kalau marah sama Tuhan, pernah, Mas?
J : Merasa Tuhan tidak adil saja saya tidak pernah, Mbak. Mana berani saya marah sama Tuhan. Wong saya ini cuma manusia biasa yang kecil di mata Alloh.
T : Dari agama Islam sendiri, adakah ajaran yang mengajarkan tentang sebuah pekerjaan yang sebaiknya dipilih oleh umatnya?
J : Saya kurang tahu persis bagaimana isi ayat di Al-Qur’an. Tetapi yang penting itu pekerjaannya halal, tidak menentang agama dan tidak merugikan orang lain. Saya rasa itu sah-sah saja.
T : Kalau ajaran tentang berusaha dan memaknai hidup, ada, Mas?
J : Katanya sih, cukup berusaha sekuat mungkin sambil berdoa kepada Alloh agar diberikan rejeki yang baik.
T : Kalau begitu, terima kasih ya, Mas. Ngomong-ngomong harga baksonya berapa, Mas?
J : Cukup Rp 5.000, Mbak. Makasih.


Refleksi kelompok :
Caca [XI IPS 1/3]

Setelah mewawancarai tukang baso tersebut saya menjadi berpikir kalau mencari pekerjaan itu tidak mudah. Apalagi kalau tidak didukung pendidikan yang memadai. Apalagi di Jakarta yang lapangan pekerjaannya semakin hari semakin sempit, semua orang berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan. Mas Sumardi yang pekerjaannya hanya sebagai tukang bakso, dan sangat berbeda dengan cita-citanya tetap tidak mengeluh walaupun hanya menjadi tukang bakso. Ia masih bersyukur bisa memiliki pekerjaan itu daripada tidak sama sekali.


Jeje [XI IPS 1/ 6]
Dari hasil tanya jawab dengan tukang bakso, saya mnyadari begitu banyak orang di luar sana yang kehidupannya sulit dan mereka berusaha untuk bertahan hidup dengan segala cara. Sedangkan saya yang masih tergantung dengan orang tua sering mengeluh kepada Tuhan. Saya menyadari kehidupan itu sangat sulit dari yang saya bayangkan, tanpa adanya usaha dan doa, sulit bertahan di kota Jakarta ini. Kita juga perlu berserah kepada Tuhan dan bersyukur terhadap apa yang sudah kita miliki, kelak Tuhan akan memberikan semua indah pada waktunya.


Yurika [XI IPS 1/ 29]
Dengan mewawancarai Mas Sumardi ini, saya menyadari bahwa hidup itu sedemikian berat dan susahnya. Saya kerap berpikir apa yang menjadi kekuatan dari dirinya yang kelihatan biasa saja. Ternyata saya tahu bahwa dengan menerima dan mencintai hidup yang diberikan Tuhan, sesulit apapun itu, kita dapat terus berusaha dan tidak menyerah. Sesulit apapun hidup itu, pasti Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang terbaik bagi umat yang terus percaya pada Tuhannya. Dan kita manusia, yang hanya seorang makhluk kecil di mata Tuhan, kata Mas Sumardi itu, hanyalah bisa terus berdoa dan berusaha sambil mengharapkan rejeki yang baik.
TERIMA KASIH

No comments: